Sepertidiketahui bahwa setelah masa hancurnya Kesultanan Abbasiyah di Bagdad, umat islam menekuni jalan tasawuf, terutama umat islam di tanah India. Teori Gujarat menerangkan bahwa masuknya agama islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan Pembawanya berasal dari Gujarat, India.Berikut ini merupakan dasar-dasar yang melatar belakangi Teori Gujarat :
Sejarah Perkembangan Tasawuf pengarang Ali Rif'an Indonesia 2020-11-11 120216Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TASAWUF DALAM TRADISI ISLAM Oleh Ali Rif’an A. PENDAHULUAN Tasawuf adalah nama lain dari mistisisme dalam Islam.[1] Di kalangan orientalis barat dikenal dengan sebutan sufisme, yang merupakan istilah khusus mistisime Islam. Sehingga kata sufisme tidak ada pada mistisisme agama-agama lain.[2] Tasawuf atau mistisisme dalam Islam ber-esensi pada hidup dan berkembang mulai dari bentuk hidup kezuhudan, dalam bentuk tasawuf amali, kemudian tasawuf falsafi. Barangkali sepanjang sejarahnya, dalam peradaban Islam, elemen „Tasawuf‟ adalah yang paling banyak disalahpahami dan paling sering memicu kontroversi. Secara garis besar ada dua pendapat tentang Tasawuf 1 para penentang, yg menuduh Tasawuf adalah sesat, bid‟ah, khurafat, berbau klenik takhayul, dan sinkretis serta tidak berasal dari tradisi Islam; 2 pendukung, yg menganggap Tasawuf adalah inti dari Islam. Perdebatan ini sudah terjadi sejak istilah „tasawuf‟ atau „sufi‟ muncul pertama kali dan sampai sekarang tetap tak terjadi titik temu, bahkan cenderung lebih „keras‟ benturannya. Secara umum, istilah tasawuf merujuk pada aspek keruhanian dan tazkiyatun nafs akhlak dalam ajaran Islam. Karena penekanannya pada aspek keruhanian, maka membicarakan tasawuf adalah seperti membicarakan samudera tanpa tepi, dan mustahil kita memberikan gambaran yang utuh tentang tasawuf dalam ribuan buku sekalipun. Karenanya tulisan ini dibatasi hanya pada aspek sejarah dan perkembangannya dalam tradisi Islam, sebagaimana telah dicatat dalam berbagai literatur yang penyusun temukan. B. PEMBAHASAN 1 Ta’rif Tasawuf dalam Tradisi Islam Membahas tasawuf, menurut Annemarie Schimmel merupakan tugas yang sangat sulit terlaksana secara komprehensif. Hal ini dikarenakan bahwa tasawuf itu sangat luas. Menjelaskan beberapa aspek tasawuf baik secara historis maupun fenomenologis, tetap tidak akan menghasilkan sesuatu yang utuh dan memuaskan semua pihak[3] . Mungkin itulah alasannya mengapa ada pembedaan antara tasawuf dan ilmu tasawuf. Tasawuf berarti kesadaran seorang hamba, adanya dialog dan komunikasi langsung dengan Tuhan. Dengan adanya kesadaran secara terus menerus itu, maka seseorang akan berlaku baik berakhlak terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama manusia dan terhadap alam semesta[4] . Dalam tataran ini memperlihatkan hakikat tasawuf yang bersifat holistik mencakup ketaatan individual sekaligus sosial. Sedangkan ilmu tasawuf merupakan hasil atau produk sejarah, hasil dari ijtihad ulama sufi tentang bagaimana cara mendekatkan, berkomunikasi, dan berdialog dengan Tuhan.[5] Dalam konteks inilah, uraian ini akan mengelaborasi tasawuf dengan aksentuasi pada ilmu tasawuf yang dijadikan teori dalam pengamalan kaum sufi. Era Nabi maupun Khulafaurrasyidin istilah tasawuf atau sufi belum dikenal. Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad II hijriah, oleh Abu Hasyim al Kufy W. 150 H dengan meletakkan al-sufi di belakang namanya. Menurut Nicholson, sebelum Abu Hasyim memang telah ada kaum muslim yang mendahuluinya dalam zuhud, wara, tawakkal dan mahabbah, tetapi dialah orang yang pertama kali diberi nama al-Sufi.[6] Secara etimologis, ada beragam pendapat mengenai asal kata tasawuf. Masignon & M. Abd. El Razik menjelaskan bahwa tasawwuf merupakan bentuk masdar fiil khumasi yang terbentuk dari akar kata “shawwafa” yang menunjukan pada pakaian dari bahan shuuf bulu domba.[7] Sebagian ahli menyatakan bahwa istilah tasawuf dinisbahkan kepada Shuffah, karena amaliah ahli tasawuf sama dengan amaliah Ahlus Shuffah, sebagian sahabat Nabi yang miskin dan senantiasa beribadah mendekatkan diri kepada Allah. Dikaitkan dengan Shafa dan Shaf adalah karena kebersihan hati mereka, sehingga diharapkan mereka berada pada barisan shaf pertama di sisi Allah.[8] Dikatakan berasal dari Shufanah nama sebuah pohon di padang pasir, sebab kebanyakan mereka berbadan kurus kering, akibat banyak berpuasa dan banyak bangun malam, sehingga badannya menyerupai pohon tersebut. Sedangkan penyandaran pada kata shuf, karena mereka sering memakai pakaian bulu yang kasar dan sederhana.[9] Atau juga sebagaimana diungkapkan oleh beberapa penulis modern bahwa kata “sufi” berasal dari perkataan Yunani, shopos tetapi ini tidak memiliki dasar yang kuat yang bisa dipercaya.[10] Namun kebanyakan ahli menisbahkan pada kata Shuf, sebagai kata yang lebih tepat bagi asal-usul kata tasawuf.[11] Sementara secara terminologis pun, istilah tasawuf memiliki puspa ragam definisi. Dr. Abu Al-Ula Afifi[12] telah menguraikan kurang lebih enampuluh lima definisi tentang tasawuf. Menurut Afifi, dari definisi yang berjumlah enampuluh lima tersebut ia berharap bisa mencapai kesimpulan yang komprehensif tentang definisi tasawuf, ternyata ia hanya mendapatkan makna yang terdekat dari tasawauf. Kesulitan-kesulitan tersebut disebabkan definisi-definisi yang diutarakan masing-masing sufi sangat bersifat pribadi dan spesifik, sehingga ada banyak definisi sebanyak kaum sufi mendefinisikannya. Ma‟ruf Karkhi mengungkapkan tasawuf dengan berpihak pada hakikat-hakikat dan berputus asa dari segala hal yang ada pada makhluk Al-Akhdzu bil haqoiq wa alya‟su mimma fi aidil Kholaiq.[13] Demikian pula tokoh-tokoh sufi yang lain memaknai tasawuf dengan berbeda-beda. Sehingga, hakikat pengalaman tasawuf tidak dapat didefinisikan Sufism is undefinable, karena merupakan perasaan keagamaan yang amat personal dan intim personal intimate religious feeling. Sedangkan menurut Qusyairi pengertian tasawuf berbeda-beda karena setiap ungkapan selalu berhubungan dengan pengalamannya pribadi fa kullu ibarin bima waqoa lahu[14] . Ulasan Abdul Qadir Al-Jilani mengenai makna tasawuf diulas secara unik. Al-Jilani memaknai tasawuf dari kata tasawuf تصوف langsung yang berasal dari empat huruf yaitu Ta, Shad, Waw, dan Fa‟, yang masing-masing huruf tersebut memiliki makna tersendiri. Huruf Ta‟ berasal dari kata tawbah taubat yang terbagi dalam taubat zahir dan taubat batin.[15] Huruf Shad berasal dari kata shafa‟ kejernihan yang juga terdiri dari dua bagian yakni kejernihan hati dan kejernihan nurani. Jika kejernihan hati adalah membersihkan hati dari segala penyakit hati, maka kejernihan nurani adalah mengarahkan perhatian hanya kepada Allah semata. Huruf Waw berasal dari wilayah kewalian yang akan muncul dalam diri seorang sufi setelah kejernihan hati dan nurani.[16] Dan terakhir huruf Fa‟ yang bermakna fana‟ fillah peniadaan diri dalam Allah dari segala selain Allah. Jika sifat-sifat manusiawi telah tiada, maka yang ada adalah sifat-sifat Keesaan Transenden yang tidak meniada, tidak melenyap, dan tidak menghilang. Hamba yang mengalami fana‟ ini akan tetap bersama Tuhan Yang Maha Abadi dan keridhaan-Nya, dan hati hamba yang telah mengalaminya akan abadi bersama Rahasia Yang Maha Abadi dan Perhatian-Nya.[17] Kendati demikian, bukan berarti tasawuf tidak bisa didefinisikan sama sekali. Secara sederhana tasawuf merupakan kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara hamba dengan Tuhan. Tasawuf merupakan suatu sistem latihan dengan penuh kesungguhan untuk membersihkan, mempertinggi dan memperdalam nilai-nilai kerohanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, sehingga segala konsentrasi hanya tertuju kepada-Nya.[18] Ia lebih cenderung sebagai pengalaman hidup dal proses pencarian menuju kepada kesempurnaan hidup. Cara hidup ini telah diikuti individu-individu dengan berbagai watak dan karakter dengan berbagai pebdekatan yang berbeda.[19] 2 Embriologi Tasawuf Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, statiun yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhud yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi[20] . Secara etimologis, zuhud berarti raghaba „an syai‟in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah[21] . Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral akhlak Islam dan gerakan protes.[22] Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu statiun maqam menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma‟rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi khalwat, berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”[23] . Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang – kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan ahirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni ridha, bertemu dan ma‟rifat Allah swt. Kedua, zuhud sebagai moral akhlak Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah tercela. Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Zuhud disini berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya[24] . Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki. Zuhud menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam menghadapi segala sesuatu. Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat, meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda. AlGhazali menempatkan zuhud dalam sistematika al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud, altawakkul, al-mahabbah, al-ma‟rifah dan al-ridla. Al-Tusi menempatkan zuhud dalam sistematika al-taubah,al-wara‟,al-zuhd, al-faqr,al-shabr,al-ridla,al-tawakkul, dan alma‟rifah[25] . Sedangkan al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam altaubah,al-wara‟, al-zuhud, al-tawakkul dan al-ridla[26] . Benih – benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari –hari ia berkhalwat di gua Hira terutama pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad – abad sesudahnya. 3 Asal Usul dan Sumber Pijakan Tasawuf Pembicaraan mengenai asal-usul tasawuf merupakan persoalan yang sangat kompleks, sehingga tidak bisa dikemukakan jawaban serta merta sederhana terhadap pertanyaan tentang asal-usulnya. Ada beberapa orientalis yang mengkaji tasawuf mengatakan bahwa tasawuf bersumber dari luar Islam.[27] Thoulk menganggap tasawuf ditimba dari sumber Majusi; Dozy mengatakan tasawuf dikenal kaum muslim lewat orangorang Persia; Goldziher, Palqacios dan Nicholson menisbahkan tasawuf berasal dari Kristen; Horten dan Hartman berpendapat tasawuf diambil dari India Hindu-Budha, sementara yang lain mengungkapkan bahwa Yunani merupakan sumber tasawuf.[28] Walaupun demikian, banyak ilmuwan dan para pengamat tasawuf yang dengan tegas mengemukakan bahwa sumber-sumber tasawuf secara otentik berasal dari dalam Islam sendiri. Menurut Spencer Trimingham secara afirmatif menyatakan Sufism was a natural development within Islam the inner doctrine of Islam, the underlying mystery of the Qur‟an.,[29] Pendapat sebagian ilmuwan muslim kontemporer, seperti Seyyed Hassein Nasr menjelaskan bahwa kehidupan spiritual kaum Sufi berawal dari Nabi, jiwa Nabi disinari cahaya Allah, Al-Quran, sehingga tepat sekali bila dikatakan bahwa wahyu Al-Quran sebagai sumber tasawuf[30] . Bahkan Lynn Wilcox, seorang Mursyid Sufi sekaligus guru besar psikologi abad ini pada California state University Amerika, dengan mengutip pendapat Bayazid Bistami, secara ekspresif ilustratif menyatakan bahwa benih tasawuf sudah ditanam pada masa Nabi Adam. Benih-benih ini berkecambah semasa Nabi Nuh dan berbunga semasa Nabi Ibrahim. Anggurpun berbentuk pada masa Nabi Musa dan buahnya matang pada masa Nabi Isa. Di masa Muhammad, semua itu dibuat menjadi anggur murni.[31] Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal – usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham nirwananya bahwa untuk mencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.[32] Sementara itu Abu al‟ala Afifi mencatat empat pendapat para peneliti tentang faktor atau asal –usul zuhud. Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh askestisme Nasrani. Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda- beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam. Untuk faktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, al-Qur‟an dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untukhidup wara‟, taqwa dan zuhud. Kedua, reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap system sosial politik dan ekonomi di kalangan Islam sendiri,yaitu ketika Islam telah tersebar keberbagai negara yang sudah barang tentu membawa konskuensi – konskuensi tertentu, seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali ibn Abi Thalib dengan Mu‟awiyah, yang bermula dari al-fitnah al-kubra yang menimpa khalifah ketiga, UstmanibnAffan 35 H/655 M. Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak ingin terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada,mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut. Dan ketiga, reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut at-Taftazani, pendapat Afifi yang terakhir ini perlu diteliti lebih jauh, zuhud bisa dikatakan bukan reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan dalam Islam, seperti ilmu fiqih dan ilmu kalam dan sebaginya muncul setelah praktek zuhud maupun gerakan zuhud. Pembahasan ilmu kalam secara sistematis timbul setelah lahirnya mu‟tazilah kalamiyyah pada permulaan abad II Hijriyyah, lebih akhir lagi ilmu fiqih, yakni setelah tampilnya imam-imam madzhab, sementara zuhud dan gerakannya telah lama tersebar luas didunia Islam.[33] Kendati demikian, sebagian ilmuwan muslim mengakui sejujurnya bahwa tasawuf dipengaruhi pula oleh agama dan budaya lain. Dasar dan sumber fundamental tasawuf memang Al-Quran, Sunnah Nabi, kehidupan para sahabat dan tabi‟in, namun tanpa mengingkari fakta historis, wacana-wacana tasawuf dalam perkembangan selanjutnya telah diwarnai unsur-unsur luar. Terutama tasawuf falsafi, yang merupakan pengaruh Persia Yunani yang rasional dan filsafat India yang mistis.[34] Bagaimanapun juga tidak dapat dipungkiri, dalam perjalanan selanjutnya sekitar abad ke enam dan tujuh Hijriyah, wacana-wacana tasawuf banyak yang bernuansa filosofis atau tasawuf-falsafi yang diprakarsai oleh Suhrawardi w. 587 H, Ibn Arabi w. 638 H, Ibn Faridh w. 632 H, dan lain-lain. Pada fase ini, konsep-konsep tasawuf berkembang dan diwarnai unsur-unsur diluar Islam, khususnya filsafat Yunani, sekalipun pijakan fundamental para sufi adalah Al-Quran dan Sunnah.[35] Menurut hemat penulis, zuhud sebagai embrio dari tasawuf itu meskipun ada kesamaan antara praktek tasawuf dengan berbagai ajaran filsafat dan agama sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran filsafat maupun agama itu, Tasawuf tetap ada dalam Islam. Banyak dijumpai ayat al-Qur‟an maupun hadits yang bernada merendahkan nilai dunia, sebaliknya banyak dijumpai nash agama yang memberi motivasi beramal demi memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa api neraka 19, 4,QS. Al-Nazi‟aat 37 – 40. 4 Tahap Perkembangan Tasawuf a Tasawuf Abad Pertama dan Kedua Hijriyah Menurut para ahli sejarah tasawuf, zuhud atau asketisime merupakan fase yang mendahului lahirnya tasawuf pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Dalam Islam, asketisisme mempunyai pengertian khusus. Asketisisme bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, melainkan hikmah pemahaman yang membuat para penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, di mana mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbu mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.[36] Istilah yang populer digunakan pada masa awal tersebut adalah nussaak, zuhhaad dan „ubbaad.[37] Nussaak merupakan bentuk jamak dari nasik, yang berarti orang-orang yang telah menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Tuhan. Zuhhaad adalah bentuk plural dari zahid, yang berarti “tidak ingin” kepada dunia, kemegahan, harta benda dan pangkat. Sedangkan „ubbaad merupakan bentuk jamak dari abid yakni orang-orang yang telah mengabdikan dirinya semata-mata kepada Tuhan. Para ahli berbeda pendapat mengenai faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan asketisisme dalam Islam. Nicholson berpandangan bahwa asketisisme dalam Islam bersumber dari gerakan Islam itu sendiri, bahkan hasil nyata dari ide Islam tentang Allah, walaupun ada dampak pengaruh agama Masehi Kristen. Sedangkan Ignaz Goldziher melihatnya melalui dua perspektif. Pertama, asketisisme yang mendekati semangat Islam dan Ahlus Sunnah, sekalipun terkena pula dampak asketisisme Masehi. Kedua, tasawuf dalam pengertiannya yang luas yang berkaitan dengan pengenalan terhadap Allah ma‟rifah, keadaan ruhaniah hal, dan rasa dzauq. Menurutnya yang kedua ini terkena dampak Neo-Platonisme dan ajaran-ajaran Budha ataupun Hindu. Dengan demikian, kedua orientalis di atas menganggap asketisisme dalam Islam muncul dikarenakan dua faktor utama, yaitu Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauh mana dampak faktor yang terakhir[38] . Sementara itu, Abu al-Ala Afifi berpendapat bahwa ada empat faktor yang mengembangkan asketisisme dalam Islam.[39] Pertama, ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Kitab suci Al-Quran sendiri telah mendorong manusia agar hidup saleh, takwa kepada Allah, menghindari dunia beserta hiasannya, memandang rendah hal-hal yang duniawi, dan memandang tinggi kehidupan di akhirat. Selain itu Al-Quran juga menyeru manusia agar beribadah, bertingkah laku baik, salat malam, salat tahajud, berpuasa dan lain-lain. Kedua, revolusi ruhaniah kaum Muslim terhadap sistem sosio-politik yang berlaku. Ketiga, karena dampak asketisisme Masehi. Di zaman pra-Islam, menurutnya, bangsa Arab terkena dampak para pendeta Masehi. Dampaknya terhadap para asketis Muslim, setelah timbulnya Islam, masih tetap berlangsung. Namun dampak asketisisme Masehi itu lebih banyak terhadap organisasionalnya ketimbang terhadap aspek prinsipprinsip umumnya. Keempat, penentangan terhadap fikih dan kalam. Sebagian kaum Muslim yang saleh pada masa itu merasa bahwa pemahaman para fuqaha dan ahli kalam tentang Islam tidak dapat sepenuhnya memuaskan perasaan keagamaan mereka. Sehingga mereka pun mengarah pada tasawuf untuk memenuhi kehausan perasaan keagamaan mereka. Sedangkan Abu al-Wafa‟ al-Taftazani sendiri, melihatnya secara global dari dua aspek.[40] Pertama, faktor Al-Quran dan Sunnah. Faktor pertama dan utama yang mengembangkan asketisisme dalam Islam adalah ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah yang berkaitan dengan uraian tentang ketidakartian dunia maupun hiasannya, dan perlunya berusaha secara sungguh-sungguh demi akhirat, untuk memperoleh pahala surga ataupun selamat dari azab neraka. Bagi Taftazani, ada banyak ayat tentang kefanaan dunia, serta hamba-hamba Allah yang selalu membersihkan diri.[41] Kedua, kondisi sosio-politik. Konflik politik yang terjadi sejak akhir masa Khalifah Utsman bin Affan mempunyai dampak terhadap kehidupan religius, sosial dan politik kaum Muslim. Puncaknya adalah pada zaman dinasti Umayyah yang banyak terjadi kelaliman dan penindasan sehingga banyak orang cenderung pada asketisisme. Kekuasan Bani Umayyah yang juga hidup dalam kemewahan duniawi mengundang reaksi kaum asketisisme yang menginginkan kesederhanaan hidup dan tercipta kesetaraan hidup umat Islam. Kaum asketisisme pertama ini melihat para Khalifah Umayyah bertingkah laku sama sekali bertentangan dengan kesalehan dan kesederhanaan empat Khalifah yang pertama. Para Khalifah, keluarga dan para pembesar istana hidup dalam kemewahan sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syria, Mesir, Mesopotamia, dan Persia. Muawiyah telah hidup sebagai raja-raja Roma dan Persia dalam kemewahannya. Di antara Khalifah Bani Umayyah, hanya Khalifah Umar Abdul Aziz 717-720M. yang dikenal sebagai Khalifah yang mempunyai sifat takwa dan patuh kepada ajaran-ajaran Islam dan sederhana hidupnya.[42] Khalifah lainnya hidup dalam kemewahan. Khalifah-khalifah Bani Abbas juga demikian, selalu dipenuhi dengan keglamoran hidup dan pertikaian. Melihat fakta-fakta tersebut, orang-orang yang tidak mau terlena dalam hidup kemewahan dan ingin mempertahankan hidup sederhana, menjauhkan diri dari kemewahan dunia tersebut.[43] Bahkan di antara sebagian sahabat ada juga melakukan protes secara keras, seperti Abu Dzar al-Ghiffari dan Said Ibnu Zubair, sehingga menimbulkan gejolak pada Bani Umayyah.[44] Era abad pertama dan kedua Hijriyah tersebut sudah banyak para tokoh zahid, baik dari kalangan sahabat maupun generasi tabi‟in. Berikut ini merupakan tokohtokohnya menurut tempat perkembangannya. Para zahid yang tinggal di Madinah dari kalangan sahabat, seperti Abu Ubaidah al-Jarrah Abu Dzar Al-Ghiffari w 22H, Salman Al-Farisi w 32 H, dan Abdullah ibn Mas‟ud w 33 H. Sedangkan dari kalangan tabi‟in, termasuk di antaranya adalah Said ibn Musayyab w 91 H dan Salim ibn Abdullah w 106 H. Tokoh-tokoh zahid dari Basrah adalah Hasan Al-Bashri w 110 H, Malik ibn Dinar w 131 H, Fadl Al-Raqqasyi, Kahmas ibn Al-Hadan Al-Qais w 149 H, Shalih Al-Murri dan Abdul Wahid ibn Zaid w 171 H dari Abadan. Tokoh-tokoh aliran Kufah adalah Al-Rabi ibn Khasim w 67 H, Said ibn Jubair w 96 H, Thawus ibn Kisan w 106 H, Sufyan Al-Tsauri w 161 H, Al-Laits ibn Said w 175 H, Sufyan ibn Uyainah w 198 H, dan lain-lain. Sedangkan tokoh-tokoh yang berasal dari Mesir antara lain, adalah Salim Ibn Attar Al-Tajibi w 75 H, Abdurrahman Al-Hujairah w 83 H, Nafi‟ hamba sahaya Abdullah ibn Umar w 117 H, Hayah ibn Syuraih w 158 H, dan Abu Abdullah ibn Wahhab ibn Muslim Al-Mishri w 197 H. Pada masa terakhir tahap ini juga muncul tokoh-tokoh, seperti Ibrahim ibn Adham w 161 H, Fudhail ibn Iyadh w 187 H, Dawud Al-Tha‟i w 165 H, dan Rabi‟ah Al-Adawiyyah[45] . Menurut Abu al-Wafa‟, aliran asketisisme abad pertama dan kedua hijriyah dapat disimpulkan dengan beberapa karakteristik berikut. Pertama, asketisisme ini berdasarkan ide menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih pahala akhirat, dan memelihara dari azab neraka. Ide ini berakar pada ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah, dan terkena dampak berbagai kondisi sosio-politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu. Kedua, asketisisme ini bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoretis atas asketisismenya tersebut. Saranasarana praktisnya merupakan hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan secara penuh, sedikit makan maupun minum, banyak beribadah dan mengingat Allah, berlebih-lebih dalam merasa berdosa, tunduk mutlak pada kehendak Allah, dan berserah diri kepadaNya. Dengan begitu, asketisisme ini mengarah pada tujuan moral. Ketiga, motivasi asketisisme ini adalah rasa takut khouf, yakni rasa yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad kedua Hijriyah, di tangan Rabi‟ah al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah mahabatullah, yang bebas dari rasa takut terhadap azab-Nya maupun rasa harap terhadap pahala-Nya. Hal ini mencerminkan penyucian diri dan abstraksi dalam hubungan antara manusia dengan Allah. Keempat, asketisisme sebagian asketis yang terakhir, khususnya di Khurasan, dan pada Rabia‟ah al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai pendahuluan tasawuf. Kelompok ini sekalipun dekat dengan tasawuf, tidak dipandang sebagai para sufi dalam pengertiannya yang terinci. Mereka lebih tepat dipandang sebagai cikal bakal para sufi abad-abad ketiga dan keempat Hijriyah.[46] b Tasawuf Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah Walaupun sulit menentukan secara tepat kapan peralihan waktu antara gerakan asketisisme dan tasawuf dalam Islam, namun pada permulaan abad ketiga Hijriyah sudah terlihat adanya peralihan dari asketisisme menuju tasawuf. Para asketis pada masa ketiga Hijriyah tidak lagi dikenal dengan gelar tersebut, tapi mereka lebih dikenal dengan sebutan sufi. Istilah-istilah lain yang sebelumnya lebih populer, seperti zuhhaad dan nussaak, secara perlahan-lahan digantikan oleh istilah sufi yang menjadi sangat terkenal.[47] Para sufi pada era tersebut mulai cenderung memperbincangkan konsep-konsep yang sebelumnya justru tidak dikenal, semacam tentang moral, jiwa, tingkah laku, pembatasan arah yang harus ditempuh seorang penempuh jalan menuju Allah, yang dikenal dengan istilah tingkatan maqam serta keadaan hal, ma‟rifat dan metodemetodenya, tauhid, fana, penyatuan atau hulul. Selain itu mereka menyusun prinsiprinsip teoretis dari semua konsep tersebut. Bahkan mereka menyusun aturan-aturan praktis bagi tarekat mereka dan mempunyai bahasa simbolis khusus yang hanya dikenal dalam kalangan mereka sendiri, yang asing bagi kalangan luar.[48] Sejak saat itu muncul karya-karya tentang tasawuf, dengan para pengarang seperti Al-Muhasibi w. 243 H, Al-Kharraz w. 277 H, Al-Hakim Al-Tirmidzi w. 285 H, dan Al-Junaid w. 297 H. Sehingga dapat dikatakan bahwa abad ketiga Hijriyah merupakan mulai tersusunnya ilmu tasawuf dalam arti yang luas48. Sejak abad ketiga Hijriyah, dari segi objek, metode, dan tujuannya tasawuf menjadi terpisah dari ilmu fikih. Ibn Khaldun menguraikan bahwa ilmu agama menjadi dua bagian yang satu berkaitan denga fuqaha dan para pemberi fatwa, yaitu mengenai hukum-hukum ibadah yang umum, adat istiadat atau pun niaga. Satunya lagi berkaitan dengan kelompok sufi yang melakukan latihan ruhaniah, introspeksi diri, memperbincangkan rasa dan intuisi yang ditempuh dalam perjalanannya, dan cara peningkatan diri dari satu rasa ke rasa yang lain, atau menerapkan terminologiterminologi yang berkaitan dengan hal itu semua.[49] Sejak masa itu dan masa-masa selanjutnya, para sufi mulai mengemukakan terminologi-terminologi khusus tentang ilmu mereka. Maka terkenal pulalah ilmu mereka sebagai ilmu batin, ilmu hakikat, ilmu wiratsah dan ilmu dirayah. Semua istilah tersebut merupakan kebalikan dari ilmu lahir, ilmu syariah, ilmu dirasah, dan ilmu riwayah.[50] Pembagian Al-Thusi di atas memperlihatkan dengan jelas bahwa para Sufi, dalam menyebut ilmunya dengan dirayah, ilmu batin ataupun sebutan lain yang serupa, justru membedakan adanya dua ilmu ilmu teoretis yang berkaitan dengan hukum, serta ilmu yang membahas cara-cara merealisasikan hukum-hukum tersebut, baik dalam kalbu ataupun dalam tingkah laku. Yang pertama adalah fikih atau lahir, sementara yang kedua adalah tasawuf atau batin. Selanjutnya menurut Abu Al-Wafa‟, pada abad-abad ini ada dua macam aliran tasawuf[51] . Pertama, aliran para sufi yang pendapat-pendapatnya moderat. Tasawufnya selalu merujuk kepada Al-Qur‟an dan Sunnah. Dengan kata lain, tasawuf aliran ini selalu mengikuti pertimbangan syari‟ah. Sebagian sufinya adalah ulama terkenal dan tasawufnya didominasi ciri-ciri moral. Kedua, aliran para sufi yang terpesona keadaankeadaan fana. Mereka ini sering mengucapkan kata-kata ganjil, yang terkenal sebagai syathahat. Di antara tokohnya adalah Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Busthami.[52] Kendati demikian, secara global pada periode abad ini setidaknya ada lima karakteristik kedua jenis tasawuf tersebut.[53] Pertama, peningkatan moral. Pada dasarnya, pada abad ketiga dan keempat Hijriyah, tasawuf adalah ilmu tentang moral agama. Sebab, aspek moral tasawuf pada masa itu berkaitan erat dengan pembahasan jiwa, klasifikasinya, uraian kelemahannya, penyakitnya, ataupun jalan keluarnya. Karenanya dapat dikatakan bahwa tasawuf pada masa tersebut ditandai ciri-ciri psikologis, di samping ciri-ciri moral. Semua sufi abad ketiga dan keempat Hijriyah menaruh perhatian terhadap pembahasan moral maupun hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti latihan jiwa, taubat, kesabaran, ridha, tawakkal, takwa, rasa takut, rasa heran, cinta, ingat Allah, jiwa dan penyakit-penyakitnya, dan tingkah laku maupun etika serta fase-fasenya. Karyakarya biografi mereka penuh dengan pendapat-pendapat mereka tentang hal itu semua. Barangkali, dalam kalangan para sufi yang pertama kali membahas masalah tersebut secara mendalam adalah Al-Harits ibn Asad Al-Muhasibi. Ia adalah salah seorang sufi yang mengkompromikan ilmu syariat dengan ilmu hakikat. Ia mengarang banyak buku yang berhubungan dengan persoalan jiwa dan permasalahannya. Salah satunya yang cukup terkenal, yaitu „Adabun Nufus yang menguraikan perawatan jiwa dan kalbu, akhlak-akhlak jiwa, evaluasi diri, jenjang-jenjang amal, hawa nafsu, kelengahan dan kewaspadaan serta konsep-konsep lain yang berhubungan dengan peningkatan moral dan spiritual.[54] Kedua, pengetahuan intuitif secara langsung atau disebut ma‟rifat. Ini merupakan prinsip epistemologis yang membedakan tasawuf dengan filsafat. Apabila dengan filsafat, yang dalam memahami realitas seseorang menggunakan metode-metode intelektual, maka dia disebut seorang filosof. Sedangkan kalau dia menggunakan metode intuisi atau ma‟rifat, maka dalam kondisi demikian dia disebut sebagai seorang sufi atau mistikus dalam pengertiannya yang lengkap.[55] Tokoh yang mula-mula membahas persoalan ma‟rifat adalah Ma‟ruf Al-Karkhi, yang diikuti oleh Abu Sulaiman Al-Darani, dan yang paling terkenal yaitu Dzun Nun AlMishri. Namun lagi-lagi, adalah Al-Muhasibi yang secara spesifik menulis sebuah buku kecil yang cukup terkenal tentang ma‟rifah yaitu Syarh al-Ma‟rifah wa Badzl alNashihah.[56] Secara garis besar, Al-Muhasibi membahas empat pilar utama ma‟rifat yaitu 1 ma‟rifat kepada Allah; 2 mengenal iblis sebagai musuh Allah; 3 mengenal nafs; dan 4 mengenal amal yang dilakukan karena Allah semata. Ketiga, pemenuhan fana sirna dalam realitas mutlak. Yang dimaksud fana ialah bahwa dengan latihan-latihan fisik dan psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang sufi sampai pada kondisi tertentu, di mana dia tidak lagi merasakan adanya diri atau pun keakuannya. Fana juga bisa didefinisikan sebagai ketiadaan diri di dalam Allah, yakni menjadikan sifat-sifat baik Allah, bukan Eksistensi, sebagai ganti sifat-sifat manusiawi yang rendah.[57] Keempat, ketenteraman atau kebahagiaan. Ini merupakan karakteristik khusus pada semua bentuk tasawuf. Sebab, tasawuf diniatkan sebagai petunjuk atau pengendali berbagai dorongan hawa nafsu, serta pembangkit keseimbanagn psikis pada diri seorang sufi. Dengan sendirinya, tujuan tersebut akan membuat sang sufi terlepas dari semua rasa takut dan merasakan ketenteraman jiwa dan kebahagiaan dirinya pun terwujudkan.[58] Kelima, pemakaian simbol-simbol dalam mengungkapkan hakikat realitas-realitas tasawuf. Yang dimaksud dengan simbol di sini adalah ungkapan-ungkapan yang dipergunakan sufi biasanya mengandung dua pengertian; 1 pengertian yang terdapat pada kata-kata tekstual. 2 pengertian yang digali dengan analisis dan pendalaman. Pengertian yang kedua ini hampir sepenuhnya tertutup bagi yang bukan sufi dan sulit untuk dapat memahami maksud tujuan mereka. Sebab, tasawuf merupakan kondisikondisi efektif yang khusus, yang mustahil dapat diungkapkan dengan kata-kata. Terlebih lagi, kondisi itu tidak sama pada setiap tokoh sufi. Setiap sufi punya cara tersendiri dalam mengungkapkan kondisi-kondisi yang mereka alami. Dengan demikian, tasawuf merupakan pengalaman yang subjektif. c Tasawuf Abad kelima Hijriyah Aliran tasawuf moderat atau sunni terus tumbuh dan berkembangpada abad kelima Hijriyah. Sementara aliran kedua yang bercorak semi-filosofis, yang cenderung dengan ungkapan-ungkapan ganjil serta bertolak dari keadaan fana, mulai tenggelam dan kelak akan muncul kembali dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam Hijriyah dan setelahnya. Tenggelamnya aliran kedua pada abad kelima Hijriyah, pada dasarnya disebabkan oleh berjayanya aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jama‟ah melalui keunggulan Abu AlHasan Al-Asy‟ari atas aliran-aliran lainnya. Tasawuf pada era ini cenderung melakukan pembaruan dengan mengembalikannya ke landasan Al-Quran dan Sunnah. Di antara tokoh-tokohnya yang sangat terkenal yaitu Al-Qusyairi, Al-Hawari dan Al-Ghazali. Di sini akan dibahas pandangan atau kritik mereka terhadap penyimpangan tasawuf.[59] Abu Al-Qasim Al-Qusyairi merupakan tokoh yang sangat terkenal pada abad kelima Hijriyah terutama karena karya monumentalnya, al-Risalah al-Qusyairiyyah, yang sangat berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah. Di awal mukadimahnya, Qusyairi melukiskan bahwa saat itu sudah amat langka para sufi sejati. Karena itu, Qusyairi memulai kitabnya dengan menguraikan prinsip-prinsip tauhid, seperti ma‟rifatullah, sifat-sifat, keimanan dan lainnya. Selanjutnya ia menguraikan konsep-konsep tasawuf, maqamt wal ahwal, kondisi ruhaniah dan karamah para wali, serta diakhiri dengan biografi singkat mengenai para tokoh sufi ternama. Menurut Qusyairi, antara syariat dan hakikat tidak bisa dipisahkan. Syariat merupakan disiplin ubudiyah, sedangkan hakikat adalah musyahadah ketuhanan. Setiap syariat yang tidak dikukuhkan dengan hakikat, tidak bisa diterima. Sebaliknya setiap hakikat yang tidak dikukuhkan syariat, tidak akan tercapai. Syari‟at berarti menyembahNya, sedang hakikat berarti seorang hamba menyaksikan-Nya.[60] Begitu pula eksposisinya mengenai tahap-tahap perjalanan sufistik menuju Tuhan, terlihat sangat sistematis. Dalam perspektif Qusyairi, seorang hamba tidak akan bisa menaiki satu maqam ke maqam lainnya sebelum terpenuhi hukum-hukum maqam tersebut. Siapa yang belum sepenuhnya qana‟ah, belum bisa mencapai tahap tawakkal. Siapa yang belum bisa tawakkal, tidak sah ber-taslim. Siapa yang tidak bertobat, tidak sah ber-inabah. Dan siapa yang tidak wara‟, tidak sah untuk ber-zuhud.[61] Bahkan ia mampu menguraikan konsep fana‟ yang sering disalah pahami oleh sebagian sufi lainnya, secara moderat. Fana‟ baginya bukanlah leburnya atau penyatuan seorang hamba dengan Tuhan, melainkan lenyapnya sifat-sifat tercela pada diri seorang hamba dan melahirkan ke-baqa‟-an, yakni kekalnya sifat-sifat terpuji.[62] Dengan uraian semua ini, terlihat sekali bahwa Qusyairi mempunyai pandangan yang moderat dan sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah. Tokoh sufi lain yang tasawufnya berasaskan doktrin Ahlus Sunnah ialah Abu Ismail Abdullah ibn Muhammad Al-Anshari atau yang lebih dikenal dengan Al-Hawari. Ia dipandang sebagai penggagas aliran pembaruan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-ungkapannya, seperti Al-Busthami dan Al-Hallaj.[63] Karya Al-Harawi yang paling terkenal adalah Manazil al-Sairin ila Rabb alAlamin. Dalam karya ringkas tersebut, ia memaparkan tingkat-tingkat ruhaniah yang mempunyai awal dan akhir. Mendekati Qusyairi, ia juga mengungkapkan bahwa tingkatan akhir tidak bisa diraih tanpa melalui tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bisa tegak tanpa berdasarkan fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keikhlasan serta mengikuti Sunnah.[64] Al-Harawi juga dikenal dengan teori fana‟ dalam kesatuan, namun fana‟nya berbeda dengan fana‟ para sufi semi falsafi sebelumnya. Baginya fana‟ bukanlah fana wujud sesuatu yang selain Allah, tetapi dari penyaksian dan perasaan mereka sendiri. Atau dengan kata lain, ketidaksadaran atas segala sesuatu selain yang disaksikan, bahkan juga ketidaksadaran terhadap penyaksiannya serta dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena dia sirna dengan Yang Disembahnya lewat penyembahan kepada-Nya, dengan Yang Diingatnya lewat pengingatan terhadap-Nya, dengan Yang Mengadakanya lewat wujudnya, dengan Yang Dicintainya lewat cinta kepada-Nya, dan dengan Yang Disaksikannya lewat persaksian terhadap-Nya. Kondisi demikian, biasanya disebut dengan sakr, ishthilam, atau mihwar.[65] Al-Harawi menganggap bahwa orang yang suka mengeluarkan ungkapanungkapan ganjil, maka hatinya tidak bisa tenteram, atau dengan kata lain ungkapan tersebut muncul dari ketidaktenangan. Sebab apabila ketenangan itu terpaku dalam kalbu mereka, maka akan membuat mereka terhindar dari keganjilan ucapan atau pun segala penyebabnya.[66] Tokoh selanjutnya adalah Al-Ghazali, pembela tasawuf sunni yang menduduki peringkat lebih besar daripada kedua sufi yang telah disebutkan sebelumnya. [67] AlGhazali menjauhkan tasawufnya dari semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Isma‟iliyyah dan aliran Syiah, Ikhwanus Shafa, dan lainlainnya. Ia juga menjauhkan tasawufnya dari teori-teori ketuhanan Aristoteles, antara lain teori emanasi dan penyatuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tasaawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Setelah mendalami berbagai ilmu, seperti ilmu fikih, kalam, filsafat dan tasawuf, maka ia berkeyakinan bahwa jalan sufi adalah jalan terbaik bahkan pada titik ekstremnya, dalam perspektif Imam Ghazali jalan yang paling ideal menuju Tuhan adalah melalui pencerahan sufistik atau tasawuf. Setelah mencapai mukasyafah, terbukanya tirai-tirai kegaiban alam malakut, Ghazali mempertajam wacana tersebut dengan berkomentar bahwa “Kaum sufi adalah orang-orang yang berada di jalan Allah secara khusus. Jalan mereka adalah jalan yang terbaik. Cara mereka adalah cara yang terbenar. Akhlak mereka adalah akhlak yang tersuci. Bahkan jika pikiran para cendikiawan, hikmah para ahli hikmah dan pengetahuan para ulama yang mengetahui rahasia-rahasia syariat dikumpulkan untuk mengubah jalan dan akhlak kaum sufi serta menggantinya dengan yang lebih baik, mereka tidak akan menemukan jalan untuk itu. Karena semua gerak dan diam mereka, pada lahir dan batinnya, teradopsi dari lentera kenabian, padahal tidak ada cahaya di muka bumi yang melebihi terang cahaya kenabian” .[68] Al-Ghazali pun melakukan koreksi terhadap ungkapan-ungkapan ganjil AlBusthami dan Al-Hallaj. Menurut Al-Ghazali, ucapan-ucapan mereka di saat mabuk atau tidak sadar bersama Tuhan, seharusnya disembunyikan dan jangan diceritakan. Sebab, ketika mereka sadar kembali, sebenarnya mereka tahu bahwa mereka tidaklah ittihad, menyatu sebenarnya dengan Tuhan, melainkan hanya menyerupai penyatuan. Al-Ghazali membuat ilustrasi laksana orang yang belum pernah melihat cermin, lalu tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah cermin dan melihat gambar dirinya di sana. Dikiranya bahwa gambar yang dilihatnya pada cermin adalah gambar cermin yang telah menyatu dengan gambar dirinya sendiri. Atau bagaikan seorang yang melihat anggur dalam sebuah gelas yang jernih, lalu ia mengira bahwa anggur itu bukanlah anggur, tapi hanya warna gelasnya. Jika kelak keadaan itu sudah menjadi terbiasa bagi orang yang mengalaminya dan kuat pula pengetahuannya, barulah ia akan menyadari keadaan yang sebenarnya. Dengan paparan dan ilustrasi tersebut, Al-Ghazali ingin menunjukkan bahwa tidak mungkin terjadi penyatuan antara manusia dengan Tuhan. Yang ada hanya lenyapnya kesadaran si hamba ketika menyaksikan keagungan Wajah Tuhan Yang Maha Indah, Maha Mulia, dan Maha sempurna.
ቲλիኄዤկቤዒու ιзу
Узвፁκጭτ всеνузиста
Всоցибոф ևሹጯбыщሖ λፉзвըֆሺρ мէճистէη
Уյθлብгዶслθ ժ οчሁйоքе
ԵՒлሄዋ ታ
Снес սаኾа лաсу
SejarahPerkembangan Tasawuf Pada Abad 1 dan 2 Hijriyah 1. Perkembangan Tasawuf Pada Masa Sahabat Para sahabat juga mencontohi kidupan Rasulullah yang serba sederhana, dimana hidupnya hanya semata-mata diabdikan kepada Tuhan nya. beberapa sahabat yang tergolong shufi diabat pertama, dan berfungsi sebagai maha guru bagi pendatang dari luar kota madinah, yang tertarik pada kehidupan Shufi.SECARA historis tasawuf adalah pemandu perjalanan hidup umat manusia agar selamat dunia dan akhirat. Hal itu karena tasawuf menjadi salah satu khazanah intelektual muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan. Tidaklah berlebihan jika misi utama kerasulan Nabi Muhammad SAW untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Sejarah juga mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang baru muncul setelah masa sahabat dan tabi’in, tidak muncul pada masa Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa nabi kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat pada masa itu sangat stabil. Selain itu, dari sudut pandang akal, jasmani, dan rohani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya prakmatisme, materialisme, dan hedonisme. Tasawuf sebagai sebuah gerkan perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Nabi, para sahabat, dan para tabi’in pada hakikatnya sudah sufi. Mereka mempraktekkan selalu terhadap hal-hal yang tidak pernah mengagungkan kehidupanm dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat kepada Allah sebagai sang khaliq. Setelah kekuasaan Islam makin meluas dan terjadi perubahan sejarah yang fenomenal paska nabi dan sahabat. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani dan budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf sekitar abad ke 2 hijriyah. Gerakan tasawuf bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Menurut pengarang Kasaf al-Dzunnum, orang yang pertama kali dijuluki al-sufi adalah Abu Hasyim Al-sufi. Pada masa Rasulullah SAW Islam tidak mengenal aliran tasawuf, dan pada masa sahabat dan tabi’in generasi setelah sahabat mereka itu menuntut ilmu dari para sahabat. Kemudian datang setelah masa tabi’in suatu kaum yang mengaku zuhud yang berpakain shuff pakaian dari bulu domba. Maka karena pakaian inilah mereka mendapat julukan sebagai nama bagi mereka yaitu sufi dengan nama tarekatnnya tasawuf. Salah satu argumen yang mengatakan bahwa tasawuf sudah ada pada masa Rasulullah SAW adalah perilaku nabi yang sering melakukan tahannus di Gua Hiro sebelum turunnya wahyu. Pertapaan tersebut dilakukan rasul sebagai sebuah upaya untuk menenangkan jiwa, menyucikan diri sebagai persiapan untuk menerima sabda yang agung yaitu wahyu Al- Qur’an. Dalam proses itu rasul melakukan riyahah dengan bekal secukupnya, pakaian sederhana yang jauh dari kemewahan dunia. Setelah menjalani proses tersebut jiwa rasul telah mencapai tingkat spiritual yang benar-benar siap menerima wahyu dari Jibril. Memasuki abad ke tiga dan ke empat hijriyah tasawuf kembali menjalani babak baru. Pada masa ini tema yang di angkat para sufi lebih mendalam. Berawal dari perbincangan seputar akhlak dan pekerti, mereka mulai ramai membahas tentang hakikat Tuhan, esensi manusia serta hubungan antara keduanya dan dari sini muncul tema-tema semacam makrifat, fana, zauq. Dari realitas ini dapat disimpulkan bahwa tasawuf mulai menemukan identitasnya. Tasawuf mulai berkembang dan menjafi satu disiplin ilmu yang berbeda dengan fiqih, tafsir, hadits dan kalam. Memasuki abad ke 6 dan ke 7 hijriyah tasawuf kembali menemukan suatu bentuk pengalaman baru. Bersentuhan tasawuf dengan filsafat berhasil mencetak tasawuf menjadi lebih filosofis yang kemudian dikenal dengan istilah teosofi. Dari sinilah kemudian muncul 2 parian tasawuf, sunni dengan coraknya amali dan falsafi dengan corak iluminatifnya.
Ιስυцዎхеλ цащዘщυፍиσа
Ζ νуры уሞ
Глоβ д сθл
Λугዥնо ሣ ычуκէτι
ዕа цест нтуኘոги
Βоςυбፃծи шጱδиск
Փωየէшипс σοξቿշ
Ай ν
Ζэպуди ηескиς
Леτθлиգос л ежаսιда
Эլሌκիбикθн има ቱι
Ուጇጣжωв скαкըցи акэнըጅ
Pertama bersamaan dengan jatuhnya Baghdad pada 656 M di tangan penguasa Mongol yang sebagian besar ulamanya melarikan diri hingga ke kepulauan Nusantara. Kedua, ditemukannya beberapa karya sufi pada abad ke-13 M. Ada juga pendapat yang mengatakan, justru Islam pertama kali masuk ke Nusantara pada abad pertama Hijriah.
Tasawuf merupakan salah satu aspek esoteris Islam, sebagai perwujudan dari ihksan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhannya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah Saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam yang lahir belakangan, sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Adapun tasawuf amali sendiri, dipahami sebagai ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada perilaku yang baik, dalam kaitannya dengan amalan ibadah kepada Allah. Di dalamnya ditekankan tentang bagaimana melakukan hubungan dengan Allah melalui dhikir atau wirid yang terstruktur dengan harapan memperoleh ridla Allah Swt. Tasawuf amali merupakan tasawuf yang mengedepankan mujahadah, dengan menghapus sifatsifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total dengan segenap esensi diri hanya kepada Allah Swt. Sejarah dan perkembangan tasawuf amali> mengalami beberapa fase, yaitu yang dimulai sejak abad kesatu dan kedua Hijriyah, di mana tasawuf masih bersifat praktis belum ada konsep-konsep tasawuf secara terpadu; abad ketiga Hijriyah; abad keempat Hijriyah; abad kelima Hijriyah; abad keenam Hijriyah, di mana para sufi mengembangkan tasawuf dalam bentuk institusi tarekat, yang kemudian berkembang pesat sampai sekarang. Kata Kunci Tasawuf, akhlak, amali Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 59Taufiqur Rahman, Sejarah Perkembangan Tasawuf Amali 59-73SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF AMALITaufiqur Rahman*Abstrak Tasawuf merupakan salah satu aspek esoteris Islam, sebagai perwujudan dari ihksan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhannya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah Saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam yang lahir belakangan, sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Adapun tasawuf amali sendiri, dipahami sebagai ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada perilaku yang baik, dalam kaitannya dengan amalan ibadah kepada Allah. Di dalamnya ditekankan tentang bagaimana melakukan hubungan dengan Allah melalui dhikir atau wirid yang terstruktur dengan harapan memperoleh ridla Allah Swt. Tasawuf amali merupakan tasawuf yang mengedepankan mujahadah, dengan menghapus sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total dengan segenap esensi diri hanya kepada Allah Swt. Sejarah dan perkembangan tasawuf amali> mengalami beberapa fase, yaitu yang dimulai sejak abad kesatu dan kedua Hijriyah, di mana tasawuf masih bersifat praktis belum ada konsep-konsep tasawuf secara terpadu; abad ketiga Hijriyah; abad keempat Hijriyah; abad kelima Hijriyah; abad keenam Hijriyah, di mana para sufi mengembangkan tasawuf dalam bentuk institusi tarekat, yang kemudian berkembang pesat sampai sekarang. Kata Kunci Tasawuf, akhlak, amali* Dosen InstitutIlmu Keislaman Zainul Hasan Genggong 60Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 1, Januari 2019PendahuluanAllah menciptakan manusia di muka bumi adalah untuk menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi. Tidak terlepas dari fitrahnya ini, Allah Swt menganugerahkan dua potensi penting dalam diri manusia, yaitu akal dan nafsu. Allah Swt memberikan akal kepada manusia agar mereka mampu dan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang benar dalam bertindak, bertingkah laku, berbuat ataupun bekerja. Sementara nafsu adalah sebuah pemicu bagi tingkat pekerjaan yang dilakukan oleh akal, sehingga nafsu ini dapat menjadi nafsu yang baik, yakni nafsu yang dilatih untuk menghindar dari perbuatan-perbuatan yang tercela dan membawa dosa, dan nafsu yang buruk, yakni nafsu yang dilatih untuk melakukan perbuatan-perbuatan dosa dan ahli sufi memiliki pendapat bahwa hawa nafsu dapat menjadi tabir penghalang untuk dapat dekat dengan Allah Swt. Hal yang seperti ini akan terjadi ketika diri seseorang telah dikendalikan oleh hawa nafsu. Hawa nafsu yang seperti ini akan membawa manusia cenderung memuja kenikmatan duniawi. Hingga pada akhirnya bukanlah kenikmatan kehidupan akherat yang dijadikan tujuan utama dalam hidup, melainkan kenikmatan dunialah yang dijadikan tujuan utama dalam mencapai keberhasilan alasan pentingnya membentengi diri dari hal-hal yang munkara>t itulah dibutuhkan sebuah metode yang aplikatif untuk memperoleh ketenangan dan kebahagiaan jiwa yang bersifat batiniyah, yaitu tasawuf. Tasawuf merupakan salah satu aspek esoteris Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhannya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah Saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam yang lahir belakangan, sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu Tasawuf Amali>Istilah Tasawuf dalam Islam sebenarnya pada masa nabi Muhammad Saw belum ada. Tidak mengherankan apabila kata sufi dan tasawuf 61Taufiqur Rahman, Sejarah Perkembangan Tasawuf Amali 59-73dikaitkan dengan kata-kata arab sebagai berikut11. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Sebab kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadah, terutama shalat dan puasa. 2. S{aff baris. Yang dimaksud S{aff di sini ialah baris pertama dalam shalat di masjid. S{aff pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke masjid dan banyak membaca ayat suci al-Qur’an dan berdhikir sebelum waktu shalat Ahl al-S{huffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah, tinggal di masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai s}uffah pelana sebagai bantal. Sungguhpun tidak memiliki apa-apa, mereka berhati baik dan tidak mementingkan Sophos bahasa Yunani yang masuk ke dalam filsafat Islam, yang berarti hikmah atau S{u>f kain wol. Dalam dunia tasawuf kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan barang mewah yang bisa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari antara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai kata asal sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang pertama yang memakai kata sufi adalah Abu> Ha>shi>m al-Ku>fi di Irak H.2Adapun pengertian tasawuf secara istilah, banyak para ahli yang berbeda pendapat sesuai seleranya masing-masing. Menurut al-Jurairi, “Tasawuf adalah masuk ke dalam segala budi akhlaq yang mulia dan keluar dari budi pekerti yang rendah”. Menurut Ma’ru>f al-Khurki, “Tasawuf adalah mengambil hakikat dan tidak berharap terhadap apa yang ada di tangan makhluk”. Sedangkan menurut al-Junaidi, “Tasawuf adalah membersihkan hati dari dari apa saja yang mengganggu perasaan 1 Lihat M. Solihin, Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf Bandung CV. Pustaka Setia, 2008, 11-132 Abd al-Hakim Abd al-Ghani Qasim, Al-Madzahib al-Shufiyah wa Madarisuha, Maktabah Madbuli, 1989, 12 62Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 1, Januari 2019makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal insting kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat kesucian rohani, bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, menaburkan nasihat kepada semua orang, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat, dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syariat”3 Adapun tasawuf amali> sendiri, maka dapat dipahami sebagai ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada perilaku yang baik, dalam kaitannya dengan amalan ibadah kepada Allah. Di dalamnya ditekankan tentang bagaimana melakukan hubungan dengan Allah melalui dhikir atau wirid yang terstruktur dengan harapan memperoleh ridla Allah Swt. Tasawuf amali> merupakan tasawuf yang mengedepankan muja>hadah, dengan menghapus sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total dengan segenap esensi diri hanya kepada Allah Sejarah Perkembangan Tasawuf Amali>Pada mulanya, tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna institusi-institusi Islam. Sejak zaman sahabat dan tabiin, kecenderungan pandangan orang terhadap ajaran Islam secara lebih analitis mulai muncul. Ajaran Islam mereka dapat dipandang dari dua aspek, yaitu lahiriyah seremonial dan aspek batiniah spiritual, atau apek luar dan aspek dalam. Pendalaman dan pengamalan aspek “dalamnya” mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, tentunya tanpa mengabaikan aspek luarnya” yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, lebih mementingkan keagungan Tuhan dan bebas dari egoisme. Sejarah dan perkembangan tasawuf mengalami beberapa fase sebagai berikut53 Ibid., 14-154 Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf Wonosobo AMZAH, 2005, 2635 Lihat M. Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2008, 61-67 63Taufiqur Rahman, Sejarah Perkembangan Tasawuf Amali 59-731. Abad Kesatu dan Kedua HijriyahBenih-benih tasawuf sudah ada sejak zaman kehidupan Nabi Saw. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad Saw. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari ia berkhalwat di gua H{ira’ terutama pada bulan Ramad}a>n. Di sana Nabi banyak berdhikir dan bertafakkur untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan Nabi di gua H{ira’ merupakan acuan utama para sufi dalam berkhalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu, setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad-abad periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabi’in sekitar abad I dan II H. Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah dari masa sebelumnya. Konflik-konflik sosial politik yang bermula dari masa Uthman bin Affan berkepanjangan sampai masa-masa sesudahnya. Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok kelompok Bani Umayyah, Shi’ah, Khawarij, dan masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah-khalifah Bani Umayyah secara bebas berbuat kezaliman-kezaliman, terutama terhadap kelompok Shi’ah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentangnya. Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi T{alib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti-hentinya itu membuat sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawwa>bi>n orang-orang yang bertaubat. Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaum Tawwa>bi>n itu dipimpin oleh Mukhtar 6 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal Ila> al-Tashawwuf Fi> al-Isla>m Kairo Da>r al-Thaqa>fah, 1976, 78 64Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 1, Januari 2019bin Ubaid al-Saqafi yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 samping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosial pun terjadi. Hal ini mempunyai pengaruh yang besar dalam pertumbuhan kehidupan beragama masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah Saw dan para sahabat, secara umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana. Ketika Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan, hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama terjadi di kalangan istana. Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah tampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi Saw dan sahabat utama, dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan raja-raja Romawi. Dalam situasi demikian kaum muslimin yang saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud8, sederhana, saleh,dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Di antara para penyeru tersebut ialah Abu Dzar al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam perubahan-perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi Saw dan para sahabatnya. Mereka mulai merenggangkan diri dari kehidupan mewah. Sejak saat itu kehidupan zuhud menyebar luas di kalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu disebut za>hid, atau karena ketekunan mereka beribadah, maka disebut a>bid atau na> yang tersebar luas pada abad-abad pertama dan kedua Hijriyah terdiri atas berbagai aliran yaitu10a. Aliran Madinah Sejak masa yang dini, di Madinah telah muncul para za>hid. Mereka kuat berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya. Di antara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah al-Jarrah H., Abu Dzar al-Ghiffari w. 22 H., Salman al-Farisi w. 32 H., 7 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal Ila al-Tashawwuf Fi al-Islam........, 80-818 Zuhud adalah berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan ber-khalwat, berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir kepada Allah Ibid., 8210 Ibid., 83-95 65Taufiqur Rahman, Sejarah Perkembangan Tasawuf Amali 59-73Abd Allah ibn Mas’ud w. 33 H., Hudzaifah ibn Yaman w. 36 H.. Sementara itu dari kalangan tabi’in di antaranya adalah Sa’id ibn al-Musayyad w. 91 H. dan Salim ibn Abd Allah w. 106 H.. Aliran Madinah ini lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum muslimin salaf, dan berpegang teguh pada zuhud serta kerendah hatian Nabi. Selain itu aliran ini tidak begitu terpengaruh perubahan-perubahan sosial yang berlangsung pada masa dinasti Umayyah, dan prinsip-prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat tekanan dari Bani Umayyah. Dengan begitu, zuhud aliran ini tetap bercorak murni Islam dan konsisten pada ajaran-ajaran Aliran Bas}rah Louis Massignon mengemukakan dalam artikelnya “Tashawwuf” dalam Ensiklopedie de Islam, bahwa pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua aliran zuhud yang menonjol. Salah satunya di Bashrah dan yang lainnya di Kufah. Menurut Massignon orang-orang Arab yang tinggal di Bashrah berasal dari Bani> Tami>m. Mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal-hal yang riil. Merekapun terkenal menyukai hal-hal logis dalam nahwu, hal-hal nyata dalam puisi dan kritis dalam hal hadith. Mereka adalah penganut aliran Ahl al-Sunnah, tapi cenderung pada aliran-aliran Mu’tazilah dan Qadariyyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan al-Bas}ri, Malik ibn Dinar, Fad}l al-Raqqashi, Rabbah ibn Amru al-Qishi, S{{alih al-Murni atau Abd al-Wahid ibn Zaid, seorang pendiri kelompok asketis di Abadan. Corak yang menonjol dari para za>hid Bashrah ialah zuhud dan rasa takut yang Aliran Kufah Aliran Kufah menurut Louis Massignon, berasal dari Yaman. Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal-hal aneh dalam nahwu, imajinasi dalam puisi, dan harfiah dalam hal hadith. Dalam akidah mereka cenderung pada aliran Shi’ah, sebab aliran Shi’ah pertama kali muncul di Kufah. Para tokoh za>hid Kufah pada abad pertama Hijriyah ialah al-Rabi’ ibn Khathim w. 67 H., sedangkan pada masa pemerintahan Mu’awiyah, Sa’id ibn Jubair w. 95 H., Thawus ibn Kisan w. 106 H., Sufyan al-Thauri w. 161 H. 11 Ibid., 85 66Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 1, Januari 2019d. Aliran Mesir Pada abad-abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran zuhud lain, yaitu aliran Mesir. Sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu, misalnya Amr ibn al-As}, Abd Allah ibn Amr ibn al-As yang terkenal kezuhudannya, al-Zubair bin Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad. Tokoh-tokoh za>hid Mesir pada abad pertama Hijriyah di antaranya adalah Salim ibn ’Atar al-Tajibi. Dia pernah menjabat sebagai hakim di Mesir, dan meninggal di Dimyath tahun 75 H. Tokoh lainnya adalah Abd Al-Rahman ibn Hujairah w. 83 H. menjabat sebagai hakim agung Mesir tahun 69 H. Sementara tokoh za>hid yang paling menonjol pada abad II Hijriyyah adalah al-Laits ibn Sa’ad w. 175 H.. Kezuhudan dan kehidupannya yang sederhana sangat terkenal. Menurut ibn Khallikan, dia seorang za>hid yang hartawan dan dermawan. Dari uraian tentang zuhud dengan berbagai alirannya, baik dari aliran Madinah, Bashrah, Kufah, Mesir ataupun Khurasan, baik pada abad I dan II Hijriyyah dapat disimpulkan bahwa zuhud pada masa itu mempunyai karakteristik sebagai berikut1. Zuhud ini berdasarkan ide menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari adzab neraka. Ide ini berakar dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah yang terkena dampak berbagai kondisi sosial politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika Bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis zuhud. Zuhud ini mengarah pada tujuan Motivasi zuhud ini ialah khauf, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad kedua Hijriyyah, di tangan Rabi’ah al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari rasa takut terhadap Menjelang akhir abad II Hijriyyah, sebagian za>hid khususnya di Khurasan dan pada Rabi’ah al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf atau sebagai cikal bakal para sufi abad ketiga dan 67Taufiqur Rahman, Sejarah Perkembangan Tasawuf Amali 59-73keempat Hijriyyah. Al-Taftazani lebih sependapat kalau mereka dinamakan za>hid, qa>ri’ dan na>sik bukan sufi. Sedangkan Nicholson memandang bahwa zuhud ini adalah tasawuf yang paling dini. Terkadang Nicholson memberi atribut pada para za>hid ini dengan gelar “para sufi angkatan pertama”.12e. Abad Ketiga Hijriyah Sejak abad ketiga Hijriyah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Perkembangan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral di tengah terjadinya dekadensi yang berkembang ketika itu, sehingga di tangan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktikkan semua orang. Kesederhanaannya dapat dilihat dari kemudahan landasan-landasan atau alur berpikirnya. Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas pengamalan Islam dalam praktik yang lebih menekankan keterpujian akhlaq manusia. Mereka melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilkan akhlak-akhlak atau moral yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah ajaran Islam yang mereka nilai banyak mengandung muatan anjuran untuk berakhlak terpuji. Kondisi ini mulai berkembang di tengah kehidupan lahiriyah yang sangat formal dan cenderung kurang diterima oleh mereka yang mendambakan konsistensi pengamalan ajaran Islam sampai pada aspek mendalam. Oleh karena itu, ketika menyaksikan ketidakberesan perilaku akhlak di sekitarnya, mereka menanamkan kembali akhlak mulia. Pada abad ketiga terlihat perkembangan tasawuf yang pesat, ditandai dengan adanya segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki ajaran tasawuf yang berkembang masa itu. Mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu13a. Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, yaitu tasawuf yang berisi suatu metode yang lengkap tentang pengobatan jiwa, yang mengonsentrasikan kejiwaan manusia kepada kha>liq-nya, 12 Ibid., 106-10713 M. Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf............, 63-64 68Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 1, Januari 2019sehingga ketegangan kejiwaan akibat pengaruh keduniaan dapat teratasi dengan Tasawuf yang berintikan ilmu akhlak; yaitu di dalamnya terkandung petunjuk-petunjuk tentang cara berbuat baik serta cara menghindarkan keburukan, yang dilengkapi dengan riwayat dari kasus yang pernah dialami oleh para sahabat Tasawuf yang berintikan metafisika; yaitu di dalamnya terkandung ajaran yang melukiskan hakikat Ilahi, yang merupakan satu-satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak serta melukiskan sifat-sifat Tuhan, yang menjadi alamat bagi orang-orang yang tajalli>14 Abad Keempat Hijriyah Abad ini ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan abad ketiga Hijriyah, karena usaha maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Akibatnya kota Baghdad yang hanya satu-satunya kota yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar sebelum masa itu, tersaingi oleh kota-kota besar lainnya. Upaya untuk mengembangkan ajaran tasawuf di luar kota Baghdad, dipelopori oleh beberapa ulama tasawuf yang terkenal kealimannya, antara laina. Mu>sa> al-Ans}ary; mengajarkan tasawuf di Khurasan Persia atau Iran, ia wafat di sana tahun 320 Abu> H{a>mid bin Muhammad al-Ruba>zy; mengajarkannya di salah satu kota Mesir, ia wafat di sana tahun 322 Abu> Zaid al-Adamy; mengajarkannya di Semenanjung Arabiyah, ia wafat di sana tahun 314 Abu> Ali> Muhammad bin Abd al-Wahha>b al-Saqafy; mengajarkannya di Naisabur dan kota Sharaz, hingga ia wafat tahun 328 Dalam pengajaran tasawuf di berbagai negeri dan kota, para ulama tersebut menggunakan sistem tarekat t}ari>qah, sebagaimana yang 14 Tajalli adalah tahap yang dapat ditempuh oleh seorang hamba ketika ia sudah mampu melalui tahap Takhalli dah Tahalli. Tajalli adalah lenyapnya atau hilangnnya hijab dari sifat kemanusiaan atau terangnya nur yang selama itu tersembunyi, atau fana segala sesuatu selain Allah, ketika nampak wajah M. Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf............,64 69Taufiqur Rahman, Sejarah Perkembangan Tasawuf Amali 59-73dirintis oleh ulama tasawuf pendahulunya. Sistem tersebut berupa pengajaran dari seorang guru terhadap murid-muridnya yang bersifat teoretis serta bimbingan langsung mengenai cara pelaksanaannya yang disebut “sulu>k” dalam ajaran tasawuf. Sistem pengajaran tasawuf yang sering disebut tarekat, diberi nama yang sering dinisbatkan kepada nama penciptanya gurunya, atau sering pula dinisbatkan kepada lahirnya kegiatan tarekat tersebut. Ciri-ciri lain yang terdapat pada abad ini, ditandai dengan semakin kuatnya unsur filsafat yang memengaruhi corak tasawuf, karena banyaknya buku filsafat yang tersebar di kalangan umat Islam dari hasil terjemahan orang-orang muslim sejak zaman permulaan Dinasti Abbasiyah. Pada abad ini pula mulai dijelaskannya perbedaan ilmu zahir dan ilmu batin, yang dapat dibagi oleh ahli tasawuf menjadi empat macam, yaitu16a. Ilmu shari>’ah17b. Ilmu t}ari>qah18c. Ilmu h}aqi>qah19d. Ilmu ma’rifah2016 Ibid., 6517 Shari>’ah adalah segala ketentuan agama yang sudah ditetapkan oleh Allah untuk hamba-Nya. Bagi orang-orang Sufi, Shari>’ah adalah kualitas amal lahir-formal yang ditetapkan dalam ajaran agama melalui al-Qur’an dan Sunnah. Sebab itu, dapat dikatakan bahwa Shari>’ah adalah ilmu ibadah yang cenderung hanya menyentuh aspek lahir manusia dan tidak menyentuh aspek batin T{ari>qah menurut istilah tasawuf adalah jalan yang harus ditempuh oleh seorang Sufi dalam mencapai tujuan, berada sedekat mungkin dengan Tuhan. T{ari>qah adalah jalan yang ditempuh para Sufi dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari shari’at, sebab jalan utama disebut shar’, sedangkan anak jalan disebut dengan t}ariq. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa T{ari>qah adalah cabang dari Shari>’ah yang merupakan pangkal dari suatu H{aqi>qah adalah kebenaran yang bersifat esensial. Makna h}aqi>qah menunjukkan kebenaran esoteris yang merupakan batas-batas dari transendensi manusia dan teologis. H{aqi>qah merupakan unsur ketiga setelah Shari>’ah hukum yang merupakan kenyataan eksoteris, T{ari>qah jalan sebagai tahapan esoterisme, dan yang ketiga adalah H}aqi>qah, yakni kebenaran yang Ma’rifah adalah pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang Tuhan yang diperoleh melalui sanubari. al- Ghazali secara terperinci mengemukakan pengertian ma’rifat ke dalam hal-hal berikut 1 Ma’rifat adalah mengenal rahasia-rahasia Allah dan aturan-aturan-Nya yang melingkupi seluruh yang ada; 2 Seseorang yang sudah sampai pada ma’rifat berada dekat dengan Allah, bahkan ia dapat memandang wajah- 70Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 1, Januari 2019g. Abad Kelima Hijriyah Pada abad kelima ini muncullah Imam al-Ghaza>li>, yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang berdasar al-Quran dan al-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, Ia melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. al-Ghaza>li>-lah yang berhasil memancangkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah, dan bertentangan dengan tasawuf al-H{alla>j dan Abu> Yazi>d al-Bust} Tasawuf pada abad kelima Hijriyah cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya kepada landasan al-Quran dan al-Sunnah. Al-Qushairi dan al-Harawi dipandang sebagai tokoh sufi yang paling menonjol pada abad ini, yang memberi bentuk tasawuf Sunni. Kitab al-Risa>lah al-Qushairiyyah memperlihatkan dengan jelas bagaimana al-Qushairi mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahl al-Sunnah. Dalam penilaiannya ia menegaskan bahwa para tokoh sufi aliran ini membina prinsip-prinsip tasawuf di atas landasan-landasan tauhid yang benar, sehingga doktrin mereka terpelihara dari berbagai bentuk Tokoh lainnya yang seirama dengan al-Qushairi adalah Abu> Isma>’il al-Ans}>ari, yang sering disebut al-Harawi. Ia mendasarkan tasawufnya pada doktrin Ahl-Sunnah. Ia bahkan dipandang sebagai penggagas aliran pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-ungkapannya shat}aha>t, seperti al-H{alla>j dan Abu> Yazi>d al-Bust}ami. Dengan demikian, abad kelima Hijriyah merupakan tonggak yang menentukan bagi kejayaan tasawuf amali> sunni. Pada abad tersebut, tasawuf ini tersebar luas di kalangan dunia Islam. Pondasinya begitu dalam terpancang untuk jangka waktu lama pada berbagai lapisan masyarakat Abad Keenam Hijriyah Sejak abad keenan Hijriyah, sebagai akibat pengaruh kepribadian al-Nya; 3 Ma’rifat datang sebelum Abu al-Wafa al Taftazani, Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islami......,18222 M. Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf......., 66 71Taufiqur Rahman, Sejarah Perkembangan Tasawuf Amali 59-73Ghaza>li> yang begitu besar, pengaruh tasawuf amali> semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokoh sufi yang mengembangkan tarekat-tarekat dalam rangka mendidik para muridnya, seperti Sayyid Ah}mad al-Rifa>’i> w. 570 H dan Sayyid Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni> w. 651 H.23 Sesudah abad ini tidak ada lagi tokoh-tokoh besar yang membawa ide tersendiri dalam hal pengetahuan tasawuf, kalau memang ada hal itu hanyalah sebagai seorang pengembang ide para tokoh pendahulunya. Tasawuf amali>, sebagaimana dituturkan al-Qushairi dalam al-Risa>lah-nya, diwakili para tokoh sufi dari abad ketiga dan keempat Hijriyah, Imam al-Ghaza>li> dan para pemimpin tarekat yang mengikutinya. al-Ghaza>li> dipandang sebagai pembela terbesar tasawuf amali>, yang seiring dengan al-Qushairi dan al-H{arawi. Namun dari segi kepribadian, keluasan pengetahuan dan kedalaman tasawuf al-Ghaza>li> lebih besar dibanding semua tokoh-tokoh tasawuf yang ada. Ia sering diklaim sebagai seorang sufi terbesar dan terkuat pengaruhnya dalam khasanah ketasawufan di dunia pembahasan tentang sejarah perkembangan tasawuf amali> pada makalah ini, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, antara lain1. Tasawuf amali> dipahami sebagai ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada perilaku yang baik dalam kaitannya dengan amalan ibadah kepada Allah. Di dalamnya ditekankan tentang bagaimana melakukan hubungan dengan Allah melalui dhikir atau wirid yang terstruktur dengan harapan memperoleh rid}a Allah Swt. Tasawuf amali> merupakan tasawuf yang mengedepankan muja>hadah, dengan menghapus sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total dengan segenap esensi diri hanya kepada Allah Sejarah dan perkembangan tasawuf amali> mengalami beberapa fase, yaitu23 Ibid., 67 72Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 1, Januari 2019a. Abad kesatu dan kedua Hijriyah, tasawuf masih berupa perilaku zuhud yang didasari rasa khauf dan masih bersifat praktis belum ada konsep-konsep tasawuf secara terpadu.b. Abad ketiga Hijriyah, kata tasawuf mulai digunakan. Orang ahli ibadah sebelumnya disebut a>bid atau na>sik, pada abad ini disebut sebagai Abad keempat Hijriyah, perkembangan tasawuf semakin pesat dan munculnya istilah shari’at, tarekat, hakikat dan ma’rifat, sebagai penjelasan perbedaan ilmu lahir dan ilmu Abad kelima Hijriyah, adanya pemancangan ajaran tasawuf sesuai dengan prinsip-prinsip Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah oleh Imam al-Ghaza>li>.e. Abad keenam Hijriyah, munculnya para sufi yang mengembangkan tasawuf dalam bentuk institusi tarekat, yang kemudian berkembang pesat sampai sekarang. 73Taufiqur Rahman, Sejarah Perkembangan Tasawuf Amali 59-73Daftar PustakaAqib, Kharisudin, Al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Surabaya PT. Bina Ilmu, al, Abd al-Wafa>, al-Tafta>zani. Madkhal Ila> al-Tashawwuf al-Isla>mi>. al-Qa>hirah Da>r al-Thaqafah, al, Abd, Abd al-Ghani> Qa>sim. Al-Madzahib Al-Shufiyah Wa Madarisuha>. Maktabah Madbuli, Abd al-Kari>m al-Qushairi. Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, Cet. I. Jakarta Pustaka Amani, Totok, Munir Amin Samsul. Kamus Ilmu Tasawuf. Wonosobo AMZAH, Syaifan, Alim Roswantoro. Peta Kecenderungan Kajian Agama-Agama Dan Filsafat Islam Pada Program Pascasarjana. Jogjakarta Sukses Offset, M, Rosihan Anwar. Ilmu Tasawuf. Bandung CV. Pustaka Setia, 2008. ... Bukankah pilihan yang dijalani para sahabat tersebut bisa menjadi contoh sikap ketika melihat perkembangan modernisme yang berujung pada gaya materialis, hedonis, borjuis. Sebab jika ditilik sejarah ajaran-ajaran tasawuf bersumber dari kehidupan Nabi dan para sahabat dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur Taufiqur Rahman, 2019. ... Imam KhoiriThe sparkling "progress" of modernism looks very majestic and luminous. Modernization is the process of changing traditional society into a modern society, marked by changes in economic, social, and political systems. The changes that brought progress were reversed with the condition of modern human spirituality which experienced drought and decline. Therefore, a Sufism approach is needed that cultivates the heart, taste, and soul and balances the rational and experimental approaches that develop in modern society. The purpose of this study is to describe Ibn 'Athaillah al-Sakandari's views on uzlah and to analyze the suitability of uzlah in today's times. This is a qualitative research that uses a literature study approach. The analytical method used is the content analysis technique. The results of this study indicate that the uz that was written by Ibn Athaillah was not a form of activity that was carried out throughout life, but was limited to taking time to isolate oneself from the crowd. Because that way you can use meditation to the fullest. Uzlah is also an effort for modern humans to reflect and think about problems and find solutions in life so that they can get closer to Allah. Because the result of uzlah is not leaving the affairs of the world, but being able to live it with responsibility, discipline and upholding God's commands. The results of this research are expected to be practical in order to maintain the freshness of spirituality and TotokJumantoro Totok, Munir Amin Samsul. Kamus Ilmu Tasawuf. Wonosobo AMZAH, Kecenderungan Kajian Agama-Agama Dan Filsafat Islam Pada Program PascasarjanaNur SyaifanAlim RoswantoroNur Syaifan, Alim Roswantoro. Peta Kecenderungan Kajian Agama-Agama Dan Filsafat Islam Pada Program Pascasarjana. Jogjakarta Sukses Offset, 2007.
Memahamiperkembangan Islam pada abad pertengahan (1250-1800) dijelaskan bahwa sejarah Islam telah melalui tiga periode, yaitu periode klasik (650-1250), periode pertengahan (1250-1800 M), dan periode modern (1800-sekarang). Pada periode klasik, Islam mengalami kemajuan dan masa keemasan. Hal ini ditandai dengan sangat luasnya wilayah kekuasaan Imam Al-Ghazali, seorang ulama dan sufi terkenal pada abad kelima Hijriyah A. Pendahuluan Tasawuf merupakan salah satu cabang ilmu dalam Islam yang menekankan pada aspek spiritual dan kebersihan batin. Dalam kaitannya dengan diri manusia, tasawuf adalah ilmu untuk mengelola aspek rohaninya yang lebih sering disebut dengan hati atau qalbu. Dalam kaitannya dengan kehidupan, ilmu ini mengarahkan manusia untuk lebih memprioritaskan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dunia. Sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, tasawuf lebih cenderung mengkaji aspek esoterik dari pada eksoterik, lebih menekankan penafsiran bathiniyah dari pada penafsiran lahiriyah. Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai sejarah pertumbuhan dan perkembangan tasawuf melalui penjelasan secara sistematis dan umum. Di dalamnya disertai dengan nama-nama tokoh yang dihsilkan pada tiap-tiap fase perkembangan tasawuf. Dari pembahasan pemakalah, kami sadari masih banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu, kapada para pembaca sangat diharapkan sumbangan pemikirannya demi tercapai kesempurnaan makalah ini kepada yang lebih baik lagi. B. Beberapa Anggapan Penyebab Kemunculan Tasawuf Kelahiran tasawuf atau sufisme sebagai sebuah ilmu diketahui memiliki banyak versi. Mengenai kemunculan tasawuf sendiri terdapat dua anggapan, yakni ada yang menganggap bahwa lahirnya ilmu tasawuf disebabkan karena adanya pengaruh ajaran di luar Islam, tetapi ada pula yang menganggap lahirnya tasawuf itu bersamaan dengan lahirnya agama Islam[1]. Masing-masing anggapan tersebut akan diulas di bawah ini. 1. Pengaruh Ajaran Non-Islam Diketahui lahirnya ajaran tasawuf karena adanya pengaruh dari ajaran-ajaran di luar Islam, antara lain a. Pengaruh ajaran Kristen, yaitu adanya tulisan–tulisan tentang rahib-rahib yang hidup menjauhi dunia dan mengasingkan diri di padang pasir Arabia atau menempati biara-biara. b. Pengaruh ajaran Hindu dan Budha 1 Ajaran Hindu banyak mendorong umatnya untuk meninggalkan kehidupan dunia untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhannya untuk mencapai Atman dengan Brahman. 2 Ajaran Budha tentang nirwana, untuk mencapainya seorang Budha diwajibkan meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki hidup kontemplasi. c. Pengaruh filsafat mistik phytagoras, yaitu kesenangan ruh yang sebenarnya adalah berada di alam samawi. Maka untuk memperolehnya, manusia harus membersihkan ruh dengan meninggalkan kehidupan material. Dalam tasawuf dikenal dengan zuhud. d. Pengaruh filsafat emanasi Plotinus. Dalam konsep emanasi dijelaskan bahwa Dzat Tuhan Yang Maha Esa-lah yang memancar dari dalam wujud ini. Ruh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepadaNya. Dalam tasawuf dikenal dengan wahdatul wujud[2]. 2. Lahirnya Tasawuf Bersamaan dengan Lahirnya Agama Islam Anggapan yang kedua adalah bahwa tasawuf atau sufisme itu lahir dari agama Islam sendiri. Hal ini bisa dlihat dari ayat Al-Qur’an maupun hadits tentang ajaran tasawuf. Misal dalam surat Al-Baqarah ayat 115 yang artinya, Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui. Al-Baqarah 115 Dalam ayat lain Allah juga menerangkan, “Telah Kami ciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang dibisikkan olehnya. Kami lebih dekat kepada manusia ketimbang pembuluh darah yang ada pada lehernya”. Qaaf 16. Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari juga disebutkan hal serupa, yang artinya “Jika seorang hamba mendekati-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta, jka ia medekati-Ku sehasta, niscaya Aku akan mendekatinya sedepa, dan jika ia mendekati-Ku datang dengan berjalan, niscaya Aku akan mendatanginya dengan berlari”. Selain dalil diatas, masih banyak lagi ayat Qur’an maupun hadits yang dijadikan dasar tasawuf oleh para sufi. Oleh karena itu, terlepas dari adanya pengaruh dari luar atau tidak, Islam sendiri mengajarkan sufisme. Ini berarti kelahiran tasawuf bersamaan dengan lahirnya Islam sendiri[1]. C. Masa Perkembangan Tasawuf Hidup kerohanian yang dalam Islam sering disebut dengan sufisme ini nampak melekat pada diri sebagian umat Islam di seluruh dunia. Tentu saja kehidupan seperti ini tidak lepas dari sejarah pertumbuhan dan perkembangannya hingga terbentuklah ilmu tasawuf pada saat ini. Dari beberapa literatur yang ada, disebutkan bahwa sufisme Islam dimulai pada abad pertama Hijriyah, yang mana pada masa itu Rasulullah Saw masih hidup, yang segala kehidupannya cukup membawa arti penting dalam terbentuknya tasawuf ini. Perjalanan tasawuf ini pun kemudian dilanjutkan pada masa-masa selanjutnya hingga abad ketujuh Hijriyah. Adapun lebih jelasnya akan diterangkan berikut ini. 1. Tasawuf Pada Abad Pertama dan Kedua Hijriyah Masa Rasulullah Saw, Para Sahabat, dan Tabiin a. Tasawuf Masa Rasulullah Saw Pada masa ini banyak ditemui contoh-contoh kehidupan sufi yang terdapat pada diri Rasulullah Saw. Dalam kehidupan beliau sehari-hari yang penuh dengan kehidupan yang sangat sederhana dan penuh dengan penderitaan, juga beliau menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah Swt. Sebelum diangkat sebagai Rasul, beliau sering melakukan khalwat di Gua Hira’ Bukit Nur untuk mendapat petunjuk dari Tuhan. Didapati beliau melakukan khalwat berulang-ulang kali dengan bekal hanya beberapa potong roti kering dengan air minum serta buah-buahan yang hal ini menggambarkan makanan yang sangat sederhana bagi seorang sufi. Di tempat itu, beliau mengasingkan diri uzlah dan memisahkan diri infirad dari masyarakat Quraisy yang sudah rusak dan menyimpang dari ajaran Tuhannya. Beliau ingin mencari kehidupan yang berbeda dengan kehidupan orang-orang Quraisy tersebut menuju suatu kehidupan yang membawa kepada kesempurnaan dan kebahagiaan dunia akhirat. Maka dari itu, beliau hendak bertemu liqa’ dengan Allah dan ingin meminta petunjuk kepada-Nya. Setelah beliau mendapat petunjuk melalui malaikat jibril, maka mulailah beliau mengajak manusia agar berusaha menyempurnakan kehidupannya dan harus memiliki pribadi yang baik dan akhlak yang luhur demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat yang disebut dengan sa’atud daraini. Kemudian setelah beliau diangkat sebagai Rasul dan telah menjabat sebagai pemimpin atau kepala negara di Madinah, kehidupan beliau juga nampak sederhana sekali. Dalam rumah tidak ada perabot rumah tangga yang mewah, makanan yang enak, dan jarang terdapat alat-alat rumah tangga. Untuk urusan makan, jangankan makanan yang lezat, makanan yang biasa dimakan sehari-hari belum tentu tersedia pada setiap waktu makan. Sayyidah Aisyah pernah mengatakan bahwa dalam sehari-hari Rasulullah Saw tidak pernah makan sampai dua kali dan paling banyak makanan yang tersimpan tidak lebih dari sepotong roti yang itupun dimakan oleh tiga orang. Diketahui pula beliau tidur di atas tikar sampai berbekas pada pipi beliau. Begitulah kehidupan sufisme dari seorang Rasulullah Saw, meski sebagai pemimpin untuk umat Islam, kehidupan beliau penuh dengan kesederhanaan. Hidup beliau digunakan untuk berkhidmat dan berbakti kepada Allah, menyampaikan agama Islam kepada seluruh umat manusia, tidak menghiraukan kepentingan diri sendiri ataupun keluarganya, namun seluruh hidupnya digunakan untuk umatnya[1]. b. Tasawuf Masa Para Sahabat Begitu halnya dengan para sahabat. Mereka para sahabat besar juga mencontoh kehidupan Rasulullah Saw. Pada era kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, semua kehidupan mereka penuh dengan kesederhanaan dan fokus perhatian mereka hanya tertuju kepada Allah dan berbakti kepada masyarakat. Para khulafaur Rasyidin yang dimaksud antara lain Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib. Masing-masing tasawuf yang dimiliki para sahabat Khulafaur Rasyidin akan dijelaskan secara singkat di bawah ini. Abu Bakar, adalah seorang saudagar yang kaya raya di Makkah, namun ia rela meninggalkan semua harta bendanya demi mengikuti dakwah Rasulullah Saw. Abu Bakar juga memiliki akhlak yang tinggi dan selalu hidup saleh dan taqwa. Pada masa kehidupannya hanya memakai pakaian sehelai kain saja. Bahkan segala harta bendanya dikorbankan demi kepentingan agama dan negara. Disebutkan dalam sebuah riwayat, pada saat Rasulullah Saw masih hidup yang ketika itu akan menghadapi perang Tabuk, beliau bertanya kepada para sahabat siapakah yang bersedia memberikan harta bendanya di jalan Allah. Abu Bakar kemudian menjawab bahwa dirinya akan menyerahkan seluruh harta kekayaannya. Kemudian setelah Rasulullah Saw bertanya kepada Abu Bakar terkait sesuatu yang akan ditinggalkan untuk dirinya dan keluarganya, Abu Bakar menjawab bahwa cukup baginya meninggalkan Allah dan Rasul-Nya. Umar bin Khattab, adalah sahabat Nabi Saw yang memiliki jiwa yang murni dan akhlak yang tinggi. Ada riwayat yang mengisahkan kehidupan sufisme Umar, yang semuanya ketika ia menjabat sebagai khalifah. Yang pertama ketika Umar naik ke atas mimbar untuk menyampaikan pidato, sedangkan pakaian yang ia pakai bertambal-tambal. Yang kedua, ketika Abdullah bin Umar masih kecil bermain-main dengan temannya, semua temannya tersebut mengejek karena pakaian yang dipakainya penuh tambalan. Hal tersebut akhirnya disampaikan kepada ayahnya, Umar bin Khattab, yang pada saat itu menjabat sebagai kepala negara. Ayahnya pun sedih karena tidak memiliki cukup uang untuk membelikan baju untuk anaknya. Maka ditulislah surat kepada pegawai Baitul Mal untuk meminjam uang sebagai ganti pemotongan gaji bulan depan. Setelah menerima surat tersebut kemudian pegawai tersebut bertanya kepada Umar apakah yakin bahwa umurnya sampai bulan depan. Mendengar hal tersebut, Umar akhirnya tersedu sambil mengeluarkan air mata dan akhirnya tidak jadi meminjam uang di Baitul Mal. Dan masih banyak lagi cerita yang mengisahkan kehidupan Umar yang sangat sufistik tersebut. Utsman bin Affan, adalah sosok yang diberi oleh Allah kelapangan rezeki. Meski begitu ia tidak terlalu terpengaruh dengan kekayaannya. Ia selalu memegang Al-Qur’an pada tangannya. Menjelang malam hari ia hanya belajar Al-Qur’an sampai jauh malam. Bahkan ketika dibunuh oleh pemberontak, ia berada dalam membaca Al-Qur’an. Sifat sufisme yang dimiliki Utsman yang lain ialah, ketika terjadi kemarau panjang pada masa Khalifah Abu Bakar. Banyak penduduk Madinah yang menderita kelaparan karena stok makanan telah menipis. Abu Bakar hanya menyuruh sabar dan menunggu pertolongan dari Allah. Tidak lama setelah itu, ada kira-kira seribu ekor unta milik Utsman bin Affan datang dari Syam dengan membawa bahan makanan dan minyak. Setelah unta-unta tersebut berhenti di depan rumah Utsman, banyak pedagang yang ingin membeli barang dagangannya tersebut dengan berbagai macam tawaran, bahkan ada pedagang yang mengajukan tawarannya hingga sepuluh kali lipat. Akan tetapi Utsman hanya memerintahkan untuk mengumpulkan para fakir miskin pada keesokan harinya dan memberikan hasil dagangannya itu secara cuma-cuma. Begitupun dengan Ali bin Abu Thalib. Sifat kesederhanaannya tidak kalah dengan para sahabat yang lain. Ketika menjabat sebagai khalifah, pakaian yang ia pakai banyak yang sobek, dan ketika sobek ia sendiri yang menjahitnya. Suatu ketika ia ditanya seseorang mengapa sampai seperti itu pakaiannya yang sobek, ia hanya menjawab untuk mengkhuyukkan hati dan untuk menjadi teladan bagi orang-orang yang beriman. Ada lagi sahabat yang terkenal zuhud selain para sahabat Khulafaur Rasyidin di atas, yakni Huzaifah bin Yaman. Abu Thalib Al-Makki dalam kitabnya Qutul Qulub’ pernah menerangkan bahwa Huzaifah mempunyai ilmu yang luas tentang akhlak serta mendalam keyakinannya tentang hikmah-hikmah agama bila dibandingkan dengan para sahabat yang lain. Bahkan Umar dan Utsman selalu meminta pendapat-pendapatnya tentang suatu hal yang sulit dimengerti. Pernah ia ditanya darimana ia mendapatkan ilmu yang demikian itu. Huzaifah menjawab bahwa Rasulullah Saw memberikan keistimewaan kepadanya karena orang selalu bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedang dirinya selalu bertanya tentang kejahatan karena ia takut terlibat dalam kejahatan. Dari kisah sufisme para sahabat di atas, terutama dari sahabat Huzaifah, maka para sufi berpendapat ada hal-hal yang perlu disimpan sebagai rahasia dalam ilmu tasawuf. Karena tidak semua ajaran tasawuf boleh disebarluaskan kepada siapapun. Memang ada beberapa ajaran tasawuf yang tidak boleh diajarkan secara sembarangan kecuali kepada orang-orang yang dipilih dan dianggap telah layak untuk menerimanya, sebab Abu Hurairah pernah berkata Aku memperoleh dari Rasulullah Saw dua bejana ilmu pengetahuan. Satu di antaranya aku tanyakan kepada orang lain dan satunya lagi tidak aku tanyakan, dan kalau aku tanyakan niscaya leherku akan dipenggal orang Riwayat Bukhari[2]. c. Tasawuf Masa Para Tabi’in Ada dua tabi’in besar pada masa ini dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu tasawuf, antara lain Hasan Basri, Rabiatul Adawiyah, Sufyan Tsauri, Rabi’ bin Haitsam, Jabir bin Hayyan, Kulaib Ash-Shidawi, Manshur bin Ammar, Malik bin Dinar, Al-Fadhl Al-Ragassyi, Rabbaah bin Amr Al-Qisyi, Shalih bin Basyr Al-Murri, Abdul Wahid bin Zaid, Ibrahim bin Adham, Syaqiq Al-Balakhi, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan disini. Namun yang paling popular di antaranya ialah Hasan Basri, Rabiatul Adawiyah, dan Sufyan Tsauri. 1 Hasan Basri Setelah era Huzaifah bin Yaman, kemudian disusul generasi sufi yang dipelopori oleh Hasan Basri. Hasan Basri belajar tasawuf kepada Huzaifah yang kemudian menjadikannya sebagai orang besar dalam perkembangan ilmu tasawuf, bahkan dianggap sebagai imam orang-orang sufi. Hasan Basri lahir di Madinah pada tahun 21 Hijriyah atau 632 Masehi, dan meninggal pada tahun 110 H. Hasan Basri adalah salah seorang tabi’in yang terbesar dan ternama, baik dalam ilmu pengetahuan maupun dalam kesalehan dan kehidupan zuhudnya. Hasan Basri pula yang mula-mula membahas ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha-usaha untuk membersihkan jiwa. Dr. Hasan Ibrahim Hasan menerangkan dalam bukunya Tarikhul Islam’, bahwa kehidupan tasawuf yang asli itu berada dalam kehidupan Hasan Basri. Hasan Basri pernah bertemu dengan 70 orang yang mengikuti perang Badar dan 300 orang sahabat yang lain. Hasan Basri memiliki kepribadian yang sangat menarik. Ketika kecil ia pernah mendapat pujian dari Ali bin Abu Thalib. Suatu ketika, Ali bin Abu Thalib masuk ke dalam masjid di Basrah. Dilihatnya banyak anak-anak sedang asyik bercerita di dalam masjid, maka Ali mendatangi mereka dan berusaha mengusirnya keluar masjid. Namun tiba-tiba ia mendapati salah seorang di antara mereka seorang anak yang tampan, yakni Hasan Basri. Hasan Basri pada saat itu sedang asyik bercerita, dan Ali sangat tertarik dengan ceritanya itu. Demi memelihara ketenangan dan ketenteraman dalam masjid karena ramainya anak-anak, maka Ali mengajukan pertanyaan kepada Hasan Basri, “Hai anak muda! Aku ingin bertanya kepadamu dua perkara. Jika engkau dapat menjawabnya, maka aku akan biarkan engkau berbicara terus. Tetapi jika engkau tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, engkau akan kukeluarkan dari dalam masjid ini seperti anak-anak yang lain”. Anak muda yang bernama Hasan Basri itu pun berkata, “Silakan bertanya wahai Amirul Mukminin”. Kemudian Ali bin Abu Thalib pun bertanya, “Ceritakan kepadaku apa kebaikan agama dan apa pula kerusakannya?”. Dijawab oleh Hasan Basri, “Kebaikan agama itu adalah hidup wara’, dan kerusakan agama itu adalah hidup tamak”. Setelah dijawab demikian, maka Ali pun berkata, “Engkau benar, dan sekarang berbicaralah”. Dasar ajaran tasawuf Hasan Basri adalah zuhud terhadap dunia, menolak kemegahan dunia semata-mata menuju kepada Allah, bertawakal kepada-Nya, khauf takut, dan raja’ pengharapan. Masing-masing konsep atau dasar ajaran tasawuf Hasan Basri tersebut akan diuraikan berikut a Zuhud berarti hati tidak menyenangi dunia dan berpaling terhadap keindahan dan kemewahannya karena berbuat taat kepada Allah. Zuhud adalah suatu tingkatan jiwa yang tinggi, dan ini baru dapat dicapai apabila telah tertanam perasaan takut dan harap di dalam hati. b Takut khauf bukan berarti takut kepada Allah, namun takut akan terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan yang menyebabkannya mendapat murka Allah Swt. Pandangan inilah yang menyebabkan Hasan Basri bersedih hati, senantiasa takut dan gemetar, kalau ia tidak dapat mengerjakan perintah Allah sepenuhnya dan tidak dapat menghentikan larangan Allah sepenuhnya karena digoda oleh syetan dan hawa nafsu keinginan. Dalam hal ini kadang-kadang orang merasa biarlah masuk neraka daripada kena murka. c Setelah merasa takut kepada kemurkaan Allah, maka ikutilah ketakutan itu dengan pengharapan raja’. Kalau seorang manusia setelah berusaha memenuhi segala perintah Allah dan berusaha menjauhkan dirinya dari kejahatan, namun karena kelalaian dan nafsunya, ternyata masih mampu menyeretnya ke jurang kejahatan, manusia tidak boleh berputus asa, terus selalu menanamkan rasa harapan terhadap ampunan dari Allah Swt. Maka dari itu, tujuan pokok dari khauf dan raja’ ialah ingin terbebas dari kejahatan dan ingin mencapai kebaikan dan ketaqwaan[1]. 2 Rabiatul Adawiyah Seorang sufi wanita yang besar pada masa ini juga ialah bernama Rabiah binti Ismail Al-Adawiyah, yang dikenal dengan nama Rabiatul Adawiyah. Menurut Ibnu Hilqan, Rabiatul Adawiyah wafat sekitar tahun 135 H/796 M. Ia dikenal sebagai seorang yang hidup saleh dan taqwa. Sepanjang hari ia menegakkan ibadah, seperti shalat dan berpuasa. Ia memiliki murid yang terdiri dari kaum wanita. Secara garis besar, konsep tasawuf Rabiatul Adawiyah dikenal dengan ajaran cinta mahabbah atau hubbulillah. Tingkatan zuhud yang tadinya dirintis oleh Hasan Basri, yakni zuhud karena takut kepada kemurkaan Allah dan mengharap kepada ampunan Allah, ditingkatkan oleh Rabi’atul Adawiyah kepada zuhud karena cinta. Cinta yang telah suci murni itu lebih tinggi daripada takut dan harap, karena cinta yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa[2]. Terkait konsep hubbulillah Rabi’atul Adawiyah ini akan diuraikan lebih rinci pada pemakalah berikutnya. 3 Sufyan Tsauri Sufyan Tsauri lahir pada tahun 97 H/602 M, dan wafat di Basrah tahun 121 H/732 M. Ia merupakan seorang ulama hadits yang terkenal dan seorang tabi’in yang sangat zahid dan tak tertandingi. Dalam hal meriwayatkan hadits, ia dijuluki sebagai Amirul Mukminin dalam hal hadits’. Sifat beliau yang sangat kuat ialah tidak mau mendekati raja-raja. Ia hidup pada zaman khalifah Al-Manshur. Setelah menerima ilmu dari gurunya, Hasan Basri, ia pun mengembara dari sebuah kota ke kota lain untuk menerangkan intisari agama kepada murid-muridnya. Sufyan Tsauri pernah mengungkapkan perihal kesufiannya, bahwa jangan kau rusak agamamu dengan kemewahan dan kemegahan yang berlimpah ruah, karena hal itu akan menyebabkan umat Islam tenggelam dalam keduniawian, dan tidak dapat lagi dibedakan mana yang halal dan mana yang haram. Ia juga merasa tidak ada faedahnya berbicara kepada orang-orang yang bermulut manis kepada ulama, tetapi rakyat kian lama kian sengsara[3]. 2. Tasawuf Pada Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah a. Ciri-Ciri Perkembangan Tasawuf Pada Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah Tasawuf pada abad III dan IV Hijriyah sudah mempunyai corak yang berbeda dengan tasawuf abad sebelumnya. Pada abad ini tasawuf sudah bercorak kefana’an ekstase yang menjurus ke persatuan hamba dengan Tuhannya wahdat al-wujud. Orang sudah ramai membahas tentang lenyap dalam kecintaan ittihad bi al-mahbub, kekal dengan tuhan baqa’ bi al-mahbub, menyaksikan tuhan musyahadah, bertemu dengan nya liqa’ dan menjadi satu dengannya ain al-jama’[1]. Lebih jauh Abu al-Wafa menegaskan, bahwa tasawuf pada abad ini lebih mengarah kepada ciri psikomoral, dan perhatiannya diarahkan pada moral dan tingkah laku. Sebab pada masa ini ilmu tasawuf terbagi menjadi tiga, yaitu Ilmu Jiwa, Ilmu Akhlak, dan Ilmu Metafisika. Ditambah pula bahwa demikian pesatnya perkembangan tasawuf pada abad III dan IV Hijriyah ini, sehingga seolah-olah sudah merupakan madzhab, bahkan sebagai agama yang berdiri sendiri. Pada abad ini pula terdapat dua aliran yaitu tasawuf sunni dan tasawuf semi falsafi[2]. b. Tokoh-Tokoh Sufi Pada Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah Ada beberapa tokoh yang bergerak di bidang tasawuf dan kehidupannya berada pada kesufian pada abad ketiga Hijriyah ini, antara lain Abul Faidh Zin-Nun Al-Misri, Abu Yazid Al-Busthami, Yahya bin Muaz, dan Al-Junaid. Sedangkan tokoh tasawuf pada abad keempat Hijriyah antara lain Al-Sari Al-Saqathi, Abu Hamid bin Muhammad Al-Rubazi, Abu Zaid Al-Adami, Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab As-Saqafi, Abu Bakar Syibli, Abu Muhammad Al-Murtasi, dan Husain bin Mansuh Al-Hallaj. Beberapa di antara tokoh-tokoh sufi tersebut akan dijelaskan profil dan pemikirannya tentang tasawuf berikut ini. 1 Abul Faidh Zin-Nun Al-Misri Abul Faidh Zin-Nun Al-Misri atau yang lebih dikenal dengan Zunnun Al-Misri, berasal dari Naubah, yakni daerah di antara Sudan dan Mesir. Ia wafat pada tahun 246 H/860 M. Ia adalah salah seorang murid Imam Malik dan boleh dikatakan bahwa ia adalah yang pertama kali menetapkan teori-teori di dalam ilmu tasawuf pada abad ketiga. Ia banyak sekali memperluas pemahaman tentang jalan menuju Allah. Tujuannya terkait ilmu tasawuf ialah bagaimana cara mencintai Tuhan, membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang diturunkan, dan takut akan berpaling jalan. Pernah ditanya oleh seseorang apa hakikat cinta itu. Zunnun Al-Misri menjawab, “Bahwa engkau mencintai apa yang dicintai Allah, dan engkau membenci apa yang dibenci-Nya. Engkau memohon ridha-Nya, dan sekalian engkau tolak yang akan menghalangimu menuju Dia. Jangan takut akan kebencian orang yang membenci. Dan jangan mementingkan diri dan melihatnya, karena dinding yang sangat tebal untuk melihat-Nya ialah lantaran melihat diri sendiri. Orang yang arif adalah bangga dalam kefakirannya. Apabila disebutnya nama Allah, ia merasa bangga, dan apabila disebut nama dirinya, ia merasa miskin”. Mengenai konsep taubat, Zunnun Al-Misri mengungkapkan bahwa taubat terbagi menjadi dua macam, yaitu taubatnya orang awam, yakni taubat dari dosa, dan taubatnya orang khawash, yaitu taubat dari kelalaian. Demikian pula dengan konsep ma’rifat, olehnya dibagi menjadi tiga macam, yaitu ma’rifat mukmin biasa mu’miniin, ma’rifat ahli bicara mutakallimin dan hukama’, dan ma’rifat waliyullah yang dekat kepada Tuhan dan kenal akan Tuhan dalam hatinya muqarrabiin. Ma’rifat yang terakhir inilah setinggi-tingginya martabat[3]. 2 Abu Yazid Al-Busthami Abu Yazid Al-Busthami memiliki nama kecil Thaifur. Namanya sangat istimewa dan cukup melekat dalam hati orang-orang sufi. Al-Busthami pernah berkata, “Kalau kamu melihat seseorang yang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang di udara, maka janganlah kamu tertipu sebelum kamu melihat bagaimana dia mengikut suruh dan menghentikan tegah dan menjaga batas-batas syariat”. Meski perkataannya tersebut terasa sulit dimengerti, namun bisa ditangkap sebuah pengertian bahwa tasawuf yang diamalkan tidak keluar daari batas-batas syara’. Ada pula perkataannya yang terdengar ganjil’ dan dalam, dan seseorang termasuk kita harus berhati-hati dalam memahaminya. Karena bila salah dalam memahaminya, maka tentu akan menyangka bahwa Al-Busthami memilih jalan di luar ketentuan agama, atau minimal dia telah tersesat. Seperti konsep Hulul’ yang olehnya dikatakan, “Hamba dan Tuhan sewaktu-waktu bisa berpadu menjadi satu”. Atau juga perkataan yang lain yang dikutip oleh Abdul Hamid Zahrawi dalam kitabnya Al-Fiqh wa At-Tasawwuf’, “Tidak ada Tuhan melainkan saya. Sembahlah saya , amat sucilah saya. Alangkah besar kuasaku”. Selanjutnya terkait konsep perjalanan menuju fana’, ia mengatakan bahwa, “Permulaan adanya aku di dalam alam wahdaniyat-Nya, aku menjadi burung yang tubuhnya dari Ahdiyat, dan kedua sayapnya dari daimunah tetap dan kekal. Maka senantiasa aku terbang di udara kaifiyat sepuluh tahun lamanya, sehingga aku dalam udara demikian rupa kali. Maka senantiasa aku terbang dan terbang lagi di dalam medan azal. Maka terlihatlah olehku pohon ahdiyat ….”. Pada akhirnya beliau berkata, “Akhirnya sadarlah aku dan tahulah aku, bahwa sama sekali itu hanyalah tipuan dan khayalan belaka”. Kata-kata yang demikian itu disebut dengan Syathathat, artinya ialah kata-kata yang penuh dengan khayalan. Karena itu perkataan ini tidak dapat dikenakan hukum, sebab orang pada saat itu sedang dimabuk oleh fana’nya, bukan mabuk karena pengaruh alkohol. Perkataan yang tidak lazim tersebut inilah yang akhirnya memunculkan suatu istilah As-Sakar’ mabuk dan Al-Isyq’ rindu dendam[4]. 3 Yahya bin Muaz Yahya bin Muaz adalah seorang sufi yang sezaman dengan Abu Yazid Al-Busthami. Ia mulai memakai ilmu pengetahuan dalam menegakkan paham tasawuf yang kelak menjadi bahan penting bagi ahli-ahli tasawuf yang akan datang. Ia juga banyak sekali membicarakan tentang fana’, wajdan rindu, dan sakar mabuk. Pokok ajaran tasawufnya ialah melanjutkan dari tasawufnya Rabiatul Adawiyah yang masih berkaitan dengan cinta. Intisari cinta dalam tasawufnya ialah tunduk dan patuh secara bulat oleh Allah Swt. Ketundukan dan penyerahan yang membuat jiwa senentiasa mendorong hendak mencapai derajat yang tinggi. Mengenai ma’rifat, ia menambahkan dari dasar-dasar sufi yang ada, yakni mengenal yang haq yang lebih tinggi daripada mengenal sesuatu makhluk. Sedangkan lalai atau luput, ia mengemukakan bahwa lalai adalah terputus dari haq, sedangkan mati hanya terputus hubungan dengan sesama manusia. Untuk itu, lalai dari jalan menuju Allah lebih berbahaya daripada mati. Baginya, apabila hubungan dengan Tuhan telah ada, maka kematian itulah jalan yang sebahagia-bahagianya, sebab bertemu dengan kekasih. Zuhud menurutnya ialah memalingkan kehendak dari sesuatu kehendak kepada yang lebih baik dan lebih bermanfaat. Maka zuhud ini terbagi menjadi tiga perkara a Sedikit, yaitu jangan terlalu banyak harta benda yang dimiliki, karena semuanya itu akan menghambat dalam perjalanan menuju Allah. b Khalwat merenung atau menyendiri, bertafakkur, yaitu tidak banyak bercampur dengan orang lain. Kalau terpaksa bergaul, maka duduklah dengan orang banyak. c Al-Ju’ lapar, yakni jangan terlalu banyak makan, karena banyak makan menimbulkan malas dan mengantuk[5]. 4 Husain bin Mansuh Al-Hallaj Husain bin Mansuh Al-Hallaj lahir di Persia pada tahun 244 H/858 M, yang sebelumnya ia beragama Majusi, kemudian masuk Islam dan terkenal dengan julukan Abu Mughis. Al-Hallaj adalah seorang yang memiliki riwayat yang luar biasa dalam bidang tasawuf. Pandangannya sempat membuat ramai di dunia fiqih, sebab pada masa itu terjadi pertentangan antara ulama fiqih dengan ulama tasawuf karena faktor salah dalam memahami konsep tasawuf. Ada ratusan ulama fiqih pada saat itu menentang ajaran tasawufnya sehingga pada akhir hidupnya dijatuhi hukuman mati. Secara ringkasnya, ajaran tasawuf Al-Hallaj terdiri dari tiga hal, antara lain a Hulul, berarti ketuhanan lahut menjelma ke dalam diri manusia nasut. Hal ini akan terjadi ketika kebatinan seorang manusia sudah suci bersih di dalam menempuh perjalanan dalam hidup kebatinan, maka tingkat hidupnya akan naik dari maqam tingkatan ke maqam yang lain, misalkan dari muslimin, mukminin, shalihin, dan muqarrabin. Pada maqam muqarrabin, orang sudah sangat dekat dengan Tuhan sehingga timbullah penyatuan dirinya dengan Tuhan. b Al-Haqiqatul Muhammadiyah, yaitu Nur Muhammad sebagai asal-usul segala kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan. Dan dengan perantaranya lah seluruh alam ini dijadikan. Menurut Al-Hallaj, Nabi Muhammad itu terdiri dua rupa Yang pertama adalah yang qadim, yaitu terjadi sebelum terjadinya seluruh yang ada. Yang kedua adalah yang berupa manusia, yakni sebagai Nabi dan Rasul. Rupa yang kedua manusia/Nabi/Rasul ini akan menempuh kematian, dan rupa yang pertama bersifat qadim. Rupa yang pertama inilah yang oleh Al-Hallaj sebagai asal-usul segala sesuatu. c Wihdatul Adyan, yaitu kesatuan segala agama. Ia berpendapat bahwa semua agama, baik Islam, Yahudi, Nasrani, dan lain-lain, meski berbeda dalam hal nama, namun pada hakikatnya adalah satu. Orang memilih suatu agama atau lahir dalam suatu agama bukan atas dasar kehendaknya sendiri, melainkan sudah ditentukan oleh Allah Swt melalui takdir-Nya[6]. 3. Tasawuf Pada Abad Kelima Hijriyah a. Ciri-Ciri Perkembangan Tasawuf Pada Abad Kelima Hijriyah Kematian Al-Hallaj di atas tiang kayu palang telah menyebabkan kesan yang sangat tidak baik terhadap tasawuf. Salah kaprahnya para sufi dalam memahami tasawuf pada abad sebelumnya menyebabkan pertarungan sengit antara ulama fiqih dengan para sufi sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Ditambah lagi pada masa itu berkembang mazhab Syi’ah Ismailiyah dengan konsep imamah-nya yang mampu mendekatkan para sufi dengan kaum Syi’ah. Sehingga mendekatnya kaum sufi dengan kaum Syi’ah menyebabkan semakin buruknya pandangan ulama fiqih terhadap tasawuf[1]. Atas sebab itulah, tasawuf pada abad V Hijriyah mengadakan konsolidasi. Sebab pada masa ini ditandai dengan kompetisi dan pertarungan antara tasawuf sunni dan tasawuf semi falsafi, dan dimenangkan oleh tasawuf sunni. Kemenangan tasawuf sunni dikarenakan menangnya aliran teologi Ahlus Sunah Wal Jama’ah yang dipelopori oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, yang mengkritik keras terhadap teori Abu Yazid Al-Busthami dan Al-Hallaj yang nampak bertentangan dengan aqidah Islam. Oleh karena itu, tasawuf pada abad ini cenderung mengadakan pembaharuan[2]. Pada masa ini pula, filsafat dan ilmu kalam berkembang dengan pesatnya, yang lambat laun ajaran tasawuf sudah mulai kemasukan filsafat. Dr. Ibrahim Hasan Ibrahim dalam bukunya Tarikhul Islam’ menerangkan bahwa tasawuf Islam berkembang dengan pesatnya di kalangan kaum muslimin, khususnya di kalangan orang-orang Persi yang masuk Islam. Dalam perkembangannya yang terakhir, tasawuf Islam telah bersatu dengan ajaran filsafat, sehingga menjadi satu model yang dinamakan Filsafat Tasawuf. Filsafat tasawuf merupakan perpaduan antara ajaran-ajaran Neo-Platonisme, dan di pihak lain dengan ajaran Persia dan India[3]. b. Tokoh-Tokoh Sufi Pada Abad Kelima Hijriyah Ada beberapa tokoh sufi besar pada masa ini, antara lain Abu Hamid al-Ghazali, Syaikh Ahmad Al-Rifa’i, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, Syaikh Abu Hasan Al-Syadzili, Abu Al-Abbas Al-Mursi, dan Ibnu Atha’illah Al-Sakandari. Namun ulasan tentang tasawuf pada masa kelima Hijriyah ini lebih menitikberatkan pada konsep tasawuf Al-Ghazali. Sebab – menurut hemat kami -, Al-Ghazali adalah seorang sufi yang terkenal dan terbesar pada masa itu, dan memiliki konsep tasawuf yang paling jelas dan mencerminkan kondisi pada saat itu. Al-Ghazali, memiliki nama asli Abu Hamid Al-Ghazali, lahir di desa yang bernama Thus pada tahun 450 H/1057 M, dan meninggal pada tahun 505 H/1111 M. Al-Ghazali hidup pada zaman Nizamul Mulk, seorang menteri besar kerajaan Bani Saljuk. Sosok Al-Ghazali sebagai seorang pemikir yang besar telah mempererat kembali segala perselisihan dan pertikaian yang telah timbul, terutama antara para sufi dengan ulama fiqih. Sebelum Al-Ghazali, para ulama mutakallimin ilmu kalam telah mengambil beberapa cara berpikir kaum filsafat dalam menguatkan dasar ilmu kalam teologi. Filsafat yang dipelajarinya hanya semata-mata untuk menguatkan dasar-dasar ilmu kalam. Al-Ghazali memandang, cara pengambilan yang demikian itu sangat dangkal, sebab orang hanya tertarik dengan ujung-ujung filsafat, tetapi tidak menggali hingga sampai kepada uratnya. Padahal menurut Al-Ghazali, kalau sekiranya digali sampai ke uratnya, filsafat tidaklah memperkokoh pendirian ketuhanan, melainkan akan menggoyahkannya. Terkait tasawuf, corak pemikiran tasawuf yang dimiliki Al-Ghazali mengedepankan pada psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya seperti Ihya Ulumuddin Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama, Bidayatul Hidayah Pengantar Tasawuf, Al-Munziqu Minad Dhalal Pelepasan Diri Dari Kesesatan, Tahafutil Falasifah Kacau Balaunya Filsafat, dan sebagainya. Al-Ghazali mengkritik pola tasawuf pada masa sebelumnya bisa jadi karena kemasukan paham filsafat karena dianggapnya mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal lahiriyah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami dan mengemukakan kesatuan dengan tuhan. Kedua, keganjilan ungkapan yang tidak dipahami maknanya diucapkan dari hasil pemikiran yang kacau, hasil imaginasi sendiri. Selain kritikan tentang model orang-orang sufi sebelumnya, serta model berpikir para filsuf, Al-Ghazali memiliki sejumlah pemikiran yang masih berputar pada masalah kebatinan, secara garis besar antara lain 1 Terkait tasawuf dan filsafat Al-Ghazali tertarik kepada tasawuf karena menurutnya, yang ditekankan dalam tasawuf bukan semata-mata akal. Karena apabila hanya akal, maka yang ada hanyalah kebinasaan yang akan didapatinya. Artinya, dalam mempelajari filsafat, bukannya bertambah teguh imannya, malah menimbulkan keraguan. Oleh sebab itu kalau hanya mengandalkan akal, maka tidak akan dapat menemukan kebenaran, keadilan, kecintaan, dan keyakinan, sebab akal saja tidak dapat mencari nilai. Begitu pula tentang kesalahan yang didapat pada para ahli tasawuf seperti yang disebutkan sebelumnya, namun kesalahan ini masih dapat diperbaiki, asalkan ada dua perkara yang tidak boleh dipisah, yakni Ilmu dan Amal’. 2 Konsep Ma’rifat Ma’rifat menurut Al-Ghazali, bukan hanya didapat dengan akal. Ilmu yang sejati atau ma’rifat yang sebenarnya adalah mengenal Tuhan. Dari sini Al-Ghazali mengenalkan konsep Hadrat Rububiyah, yaitu wujud Tuhan meliputi segala wujud. Tidak ada wujud melainkan Allah dan perbuatan Allah. Allah dan perbuatan-Nya adalah dua, bukan satu. Pendapat Al-Ghazali ini menunjukkan pendiriannya yang berbeda dengan para sufi sebelumnya, seperti Al-Hallaj melalui paham Wihdatul Wujud-nya. 3 Tingkatan manusia Menurut Al-Ghazali, kecerdasan dan kesanggupan akal manusia itu tidaklah sama. Dalam dunia ini pasti ada orang awam dan orang khawash. Al-Ghazali memberi nasihat kepada orang awam yang belum sanggup berpikir seperti orang khawash untuk tidak perlu memasuki pada persoalan yang rumit dan dalam, yang justru akan menimbulkan keraguan dalam hatinya sendiri. Cukuplah bagi orang awam itu berpegang dengan Al-Qur’an dan Sunnah, tidak perlu banyak tanya, dan tidak perlu menta’wilkan dalil yang dalam pemahamannya. Tetapi orang yang sudah mencapai tingkat tinggi khawash, tidak lagi semata-mata berpegang pada kulit lahiriyahnya saja, tapi meningkat kepada yang lebih tinggi dari itu, yaitu ilmu yang lebih banyak dirasakan daripada dikatakan. Itu merupakan anugerah dari Allah, karena dia dapat menyaksikan yang haq yang diliputi Nur cahaya keyakinan. 4 Iman dan yakin Dari tingkatan manusia di atas, maka Al-Ghazali membagi iman dan yakin menjadi tiga tingkatan a Iman orang awam Orang awam itu mempercayai kabar berita yang dibawa oleh orang yang dipercayainya b Iman orang alim Orang alim itu orang yang mendapat kepercayaan dari jalan membanding, meneliti, dan memeriksa dengan segenap kekuatan akal dan mantiq-nya intelektualisme. c Iman orang arifin Orang arifin itu orang yang beriman dan tumbuh keyakinan setelah menyaksikan sendiri akan kebenaran itu tanpa adanya tabir/penghalang. 5 Bahagia Manusia memiliki sifat ingin tahu, karena manusia lahir di dunia ini berawal dari ketidaktahuan laa ta’lamuuna syai’an. Apabila manusia mengetahui suatu hal yang belum diketahui, maka terasa senang lah hatinya. Kesenangan itu ada dua lazaat kepuasan dan sa’adah kebahagiaan. Bila seseorang bertambah banyak yang diketahuinya, maka bertambah naiklah tingkat kepuasan dan bertambah dalam rasa kebahagiaan. Itulah sebabnya orang yang lebih luas pengetahuannya akan lebih berbahagia daripada orang yang kurang berpengetahuan. Dan puncak tertinggi dari rasa puas dan bahagia ialah ma’rifatullah mengenal Allah Swt Demikianlah pemikiran tasawuf Al-Ghazali, yang akhirnya membuka jalan baru bagi tasawuf Islam. Konsep tasawuf Al-Ghazali ini bahkan menjadi ilmu baru yang bukan hanya bagi umat Islam, namun juga orang-orang Nasrani pada abad-abad pertengahan. Al-Ghazali dalam tasawufnya juga berhasil menggabungkan rasa keindahan dan cinta, yang akhirnya menghasilkan seni yang hidup dalam Islam. Hal ini nampak pada seni arsitektur seperti pada menara masjid, kubah masjid, ukiran Al-Qur’an, pada syair-syair yang merdu dan mendalam dari para sufi abad-abad berikutnya, seperti Jalaluddin Rumi, dan lain-lain[4]. 4. Tasawuf Pada Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah a. Ciri-Ciri Perkembangan Tasawuf Pada Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah Pada abad VI Hijriyah, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Dr. Ibrahim Hasan Ibrahim dalam bukunya Tarikhul Islam’ menamainya sinkretisme filsafat dengan tasawuf. Sehingga dalam hal ini, perjalanan tasawuf masih sama seperti pada abad V Hijriyah. Ditambah lagi adanya akibat dari besarnya pengaruh Tasawuf Al-Ghazali yang berhasil mengkompromikan ilmu kebatinan dengan filsafat. Teorinya mengenai hakikat bukan semata-mata dengan akal, namun juga dengan perasaan. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyimpulkan, bahwa tasawuf falsafi mempunyai empat obyek utama dan menurut Abu Al-Wafa bisa dijadikan karakter sufi falsafi, yaitu 1 Latihan rohaniah riyadhah dan perjuangan batin mujahadah dengan rasa, intuisi, serta instropeksi. 2 Illuminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib. 3 Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan. 4 Munculnya ungkapan-ungkapan baru atau istilah-istilah yang pengertiannya masih samar-samar, seperti kasyaf tirai penyingkap, tajalli Tuhan telah jelas dan nyata, wihdatul muthlaqah kesatuan yang mutlak, hulul penjelmaan Tuhan ke dalam hamba, dan ittihad persatuan antara hamba dengan tuhan[1]. b. Tokoh-Tokoh Sufi Pada Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah Ada beberapa tokoh sufi pada masa ini, antara lain Syihabuddin Abdul Futuh Al-Syuhrawardi, Muhyiddin Ibnu Arabi, Umar Ibnu Faridh, dan Abd Al-Haqqi ibn Sabi’in. Dari keempat tokoh sufi di atas, yang paling terkenal ialah Syihabuddin Abdul Futuh Al-Syuhrawardi dan Muhyiddin Ibnu Arabi. Beberapa tokoh sufi terkenal ini akan diulas secara garis besar berikut 1 Syihabuddin Abdul Futuh Al-Syuhrawardi Ia dikenal dengan nama lain Asy-Syaikh Al-Maqtul Syaikh yang mati terbunuh, dan memiliki gelar Al-Mu’ayyad bil Malakut’ mendapat sokongan dari alam malakut. Mula-mula ia belajar filsafat dan ushul fiqih kepada Syaikh Imam Majdudin Al-Jaili di Aleppo, dan banyak bergaul dan bertukar pikiran dengan para ulama disana. Lantaran pemikirannya yang sangat bebas, akhirnya timbul pertentangan dengan para ulama fiqih sehingga ia dituduh zindiq dan ilhad tidak bertuhan/keluar dari agama. Kemudian para ulama fiqih meminta kepada Sultan Salahuddin Al-Ayyubi Saladin yang terkenal untuk menangkapnya dan dijatuhi hukuman mati. Setelah mendengar desakan dari para ulama fiqih tersebut, maka Sultan mengutus anaknya, Malik Az-Zahir, untuk menanngkapnya dan memasukkannya ke dalam penjara. Setelah berada di penjara, Al-Syuhrawardi tidak mau makan dan minum sampai meninggal pada tahun 587 H/1191 M. Al-Syuhrawardi telah mempelajari filsafat kuno seperti filsafat India, Persia, dan Yunani. Setelah mendalami beberapa filsafat tersebut, maka ia berkesimpulan bahwa para filsuf adalah orang-orang dari satu keluarga. Seperti para filsuf dari Yunani, India, dan Persia, semuanya berjalan menuju satu maksud dan berlindung di bawah satu bendera, yakni filsafat Isyraq, yakni menuntut cahaya kebenaran dari cahayanya segala cahaya, yaitu Allah. Dalam kitabnya Hayakilun Nur’, ia menerangkan perlawanan antara Nur cahaya, merujuk pada rohani dengan zulumat kegelapan, merujuk pada benda. Berbagai kekuatan akal dinamai dengan Anwar banyak cahaya. Akal yang mengatur perjalanan falak dinamainya Anwarul Qahirah cahaya yang menguasai. Jiwa manusia dinamainya Anwarul Mujarradah cahaya yang semata-mata. Allah dinamainya Nurul Anwar cahaya dari segala cahaya. Jizim tubuh dinamainya Jauharul Muzlim benda yang gelap, sedangkan alam Ajzam dinamakan Barzakh. Dari sini, Al-Syuhrawardi berusaha menjelaskan dasar filsafat tasawuf yang dimilikinya, yakni Allah adalah cahaya dari segala cahaya dan sumber dari segala yang ada. Dari nur Allah akan melahirkan nur-nur yang lain, baik alam yang maddi nampak atau alam rohani. Dari kekuatan tersebut kemudian menggerakkan segala falak dan mengatur akan segala aturannya. Terkait penuntut hikmah, Al-Syuhrawardi membaginya menjadi tiga macam a Ahli Filsuf, yang hanya mempergunakan akal semata. b Ahli Tasawuf, yang ingin mencari Tuhan. c Ahli filsuf ketuhanan, yakni yang menggunakan akal dan mementingkan rasa untuk mencapai tujuan, yaitu Allah. Inilah yang paling tinggi nilainya[2]. 2 Muhyiddin Ibnu Arabi Nama lengkapnya Abu Bakar Muhyiddin Muhammad bin Arabi At-Thai Al-Haitami Al-Andalusi. Lahir di Mercia, Spanyol pada tahun 598 H/1102 M. Pada mulanya, Ibnu Arabi menuntut ilmu fiqih dalam mazhab Zahiri di Avilla, kemudian dilanjut dengan mencari ilmu kepada guru-guru yang sudah banyak terpengaruh oleh filsafat Neo-Platonisme yang sedang berkembang di Andalusia pada saat itu. Ia memiliki konsep filsafat tasawuf yang hampir sama dengan Al-Syuhrawardi, yaitu gabungan antara perasaan jiwa dengan renungan akal. Karyanya juga banyak, salah satunya ialah Al-Futuhat Al-Makiyah’, yang berisi pendirian dan buah renungan dari Ibnu Arabi. Perihal konsep tasawuf, Ibnu Arabi memiliki tiga ajaran pokok, yaitu a Wihdatul Wujud Pantheisme Bagi Ibnu Arabi, wujud itu hanya satu, wujud makhluk adalah wujud khalik Al-khaliq huwal makhluq, wal makhluq huwal khaliq. Tidak ada perbedaan di antara yang qadim eternal yang disebut Khalik dengan yang baru yang disebut makhluk. Perbedaan itu hanya rupa dan ragam dari hakikat yang satu, karena itu keduanya mempunyai sifat yang sama. Singkatnya bagi Ibnu Arabi, hamba itu Tuhan dan Tuhan itu hamba. b Al-Haqiqatul Muhammadiyah/Nur Muhammad Kalau Al-Hallaj adalah peletak dasar teori Nur Muhammad, maka Ibnu Arabi adalah seseorang yang memperluas dan mengembangkan teori tersebut. Bagi Ibnu Arabi, Allah itu adalah sesuatu dan satu. Dialah wujud yang mutlak. Maka nur cahaya Allah itu sebagian dari dirinya. Itulah hakikat Muhammadiyah. Maka Nur Muhammad itu juga bersifat qadim, sebagian dari sesuatu dan satu. Apabila Muhammad telah mati tubuhnya, namun Nur Muhammad atau hakikat Muhammadiyah itu tetaplah ada. Jadi, Allah – Adam – Muhammad adalah satu. c Wihdatul Adyan Kesatuan Agama Sama seperti Al-Hallaj, Ibnu Arabi berkata, “Model penyembahan yang bermacam-macam agama dengan secara khusus menurut agamanya saja, tidak diragukan lagi hal itu adalah kebodohan karena dianggap berpaling dari Tuhan yang disembah mereka. Adapun Tuhan yang mutlak tidak memberi lapangan tertentu pada sesuatu karena Dia sendiri adalah ain-nya sesuatu itu”. Dengan demikian menurut pandangan Ibnu Arabi, Tuhan itu bukan hanya terbatas pada Tuhannya orang Islam, tetapi juga meliputi Tuhannya setiap agama. Sebab pada hakikatnya, setiap yang disembah itu adalah Tuhan juga. Bila sebelumnya pertentangan antara ulama fiqih dengan kaum sufi berada pada puncaknya pada abad III Hijriyah melalui Al-Hallaj, maka dengan munculnya sosok Ibnu Arabi ini, pertentangan lama kembali bangkit dengan hebatnya. Terkait Al-Hallaj, kemungkinan besar masih dapat dimaafkan atau minimal dimaklumi adanya karena perkataan yang diucapkannya itu dalam keadaan sakar mabuk kepayang meski pada akhir hayatnya ia dihukum mati. Namun untuk Ibnu Arabi, yang dipandang sebagai seorang yang berilmu, berfilsafat, dan bertasawuf, maka para ulama fiqih tidak dapat membiarkannya begitu saja. Banyak para ulama besar yang menentang paham tasawuf milik Ibnu Arabi ini melalui fatwa-fatwanya, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Khaldun, Ibnu Hajar Al-Aqshalani, Ibrahim Al-Biqa’i[3]. 5. Tasawuf di Tanah Persia Masuknya agama Islam di tanah Persia dengan sendirinya telah berjasa mengembangkan kebudayaan, kesenian, dan kesusastraan bangsa Persia. Begitu halnya dengan tasawuf, yang berkembang cepat dan menjadi bahan atau sendi yang tidak dapat dipisahkan lagi dari perkembangan seluruh tasawuf Islam. Boleh dikatakan bahwa setelah bahasa Arab, bahasa Persia juga berperan penting dan besar pengaruhnya dalam membantuk tasawuf dan filsafat Islam serta pandangan hidup mereka. Islam tumbuh dan memiliki corak ke-Persia-annya sejak abad ketiga Hijriyah. Dalam perkembangannya, filsafat dan tasawuf di Persia menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Arab dan bahasa Pahlevi Persia. Pengaruh tasawuf di Persia ini cukup besar, dan berkembang hingga ke Turki, India, dan Afghanistan. Sampai sekarang yang kurang lebih tahun lebih kebudayaan Persia-Islam masih hidup dengan suburnya. Berkat perkembangan kebudayaan di Persia lah, banyak muncul para ulama besar, filsuf terkenal, serta para sastrawan, seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina, serta ahli bahasa yang bernama Sibawaihi. Singkatnya, dalam perkembangan tasawuf, Persia telah memberikan jasa yang besar, bahkan ada yang mengatakan bahwa ilmu tasawuf belum mencapai tingkat kepuasan bila belum mendalami tasawuf dari Persia. Hubungan antara Islam-kebudayaan Persia yang terjalin erat di masa lalu akhirnya putus setelah Persia sekarang Iran mendeklarasikan dirinya menggunakan paham Syi’ah sebagai mazhab kerajaan/Negara. Padahal mayoritas umat Islam di dunia menganut paham Ahlus Sunnah. Namun sekali lagi, pengaruh tasawuf Persia amat besar dalam dunia Islam. Di Indonesia sendiri, pengaruh tasawuf Persia lebih dahulu datang daripada pengaruh tasawuf atau ajaran Islam dari tanah Arab. Thariqat yang terkenal di Indonesia, thariqat Naqsyabandiyah, adalah salah satu thariqat tasawuf yang berasal dari Persia. Kata Naqsyabandi’ sendiri berasal dari bahasa Persia. Kebanyakan ajaran-ajaran tasawuf di Persia ini dalam bentuk syair, yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf di tempat-tempat lain. Adapun para tokoh sufi dari Persia antara lain Abu Said 258 H/827 M – 440 H/1049 M, Jalaluddin Rumi 604 H/1217 M – 672 H/1273 M, Abdullah Al-Anshari 396 H/1066 M – 481 H, Majdudin Sinai w. 545 H/1221 M, Fariduddin Al-Athar, Hafiz Al-Syirazi, Abdurrahman Al-Jami. Abu Said 258 H/827 M – 440 H/1049 M adalah seorang sufi pertama dalam tasawuf Persia. Ia berasal dari Khurasan, dan mula-mula belajar Al-Qur’an dan bahasa Arab di kampungnya, kemudian pindah ke kota Marwa untuk mempelajari ilmu fiqih dengan seorang yang bernama Abu Abdullah dan Abu Bakar Al-Qaffal. Selanjutnya pindah ke kota Sarkhas untuk mendalami ilmu-ilmu lain seperti tafsir, hadits, dan ushul fiqih dengan Abu Ali Zahir bin Ahmad, dan terakhir ia kembali mempelajari sufi di bawah bimbingan Abu Fadhal. Terkait tasawuf, Abu Said selalu menggunakan dalil Al-Qur’an dan Hadits, dan juga syair-syair dalam ceramah-ceramahnya. Ia adalah seorang yang pertama mendirikan halaqah dzikir dengan cara menari-nari. Karena perbuatannya itulah, dia dilaporkan oleh ulama Naisabur kepada Sultan di Gaznah. Sultan juga mengundang para ulama dari mazhab Syafi’i dan Hanafi untuk mengevaluasi ajaran Abu Said, namun Abu Said terbebas dari hukuman. Tokoh sufi terkenal selanjutnya, Jalaluddin Rumi 604 H/1217 M – 672 H/1273 M, adalah seorang sufi besar sekaligus pujangga hebat di masanya. Ia memiliki nama lengkap maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Muhammad bin Husin Al-Khathbi Al-Bakri. Ia dilahirkan di Balkh Persia, dan pada usia empat tahun ia dibawa ayahnya ke Asia kecil Romawi. Itulah sebabnya identitasnya memakai nama Rumi’. Sama dengan Abu Said, ia memiliki paham Wihdatul Wujud. Di samping itu, ia memiliki teori Evolusi, persis teori yang dicetuskan oleh Charles Darwin. Hanya saja perbedaannya, Jalaluddin Rumi mengakui adanya Allah. Ia telah menulis kitab tasawuf yang bernama Matsnawi’, berupa kumpulan syair-syair yang terdiri dari bait syair. Kitab tersebut terdiri dari enam jilid, yang semuanya itu merupakan pendiriannya tentang tasawuf yang berdasarkan paham Wihdatul Wujud. Selain itu, paham-paham tasawuf Jalaluddin Rumi antara lain a. Alam dan Tuhan Jalaluddin Rumi memiliki teori Evolusi, yang menurutnya alam itu berevolusi. Asal mula sesuatu itu dari zarrah atom, kemudian meningkat menjadi tumbuh-tumbuhan, kemudian naik lagi menjadi hewan, lalu naik lagi menjadi manusia, lalu dari manusia naik menjadi malaikat, setelah itu kelak langsung fana’ ke dalam Allah, akhirnya menjadi baqa’. Kematian menurutnya hanya semata-mata perpindahan menuju suatu tingkat ke tingkat selanjutnya. Disinilah maka dapat diketahui paham Wihdatul Wujud-nya Jalaluddin Rumi, yakni apabila fana’ tercapai maka kekallah baqa’ alam itu dengan Tuhan. Atau singkatnya, mati itu hanya perpindahan bentuk alam menuju fana’ ke dalam Tuhan. b. Nyawa Kaum sufi termasuk Jalaluddin Rumi memahami bahwasanya nyawa/ruh ini datang dari alam lain ke dunia, dan terkurung dalam badan/jasmani di bumi. Nyawa yang terperangkap atau terpenjara di dalam jasad ini suatu saat akan kembali ke tempat asalnya QS. 89 27-28. c. Takdir dan Ikhtiar Pandangannya tentang takdir dan ikhtiar sangat berbeda dengan pendapat mayoritas ahli tasawuf lainnya, yang lebih mendekati paham Jabariyyah fatalisme. Menurut Jalaluddin Rumi, seseorang itu tidak boleh menyerah dan tunduk begitu saja dengan takdir itu. Hidup itu harus terus diperjuangkan. Manusia dihidupkan di dunia ini dengan penuh kebebasan. Dia mesti berusaha sendiri dengan mengisi kebahagiaan hidupnya dan memberi nilainya. Terkait kemunduran tasawuf di tanah Persia, suatu ketika berdirilah Kerajaan Safawi pada tahun 907 H/1502 M. kerajaan ini berhasil menyatukan seluruh negeri Persia di bawah satu pemerintahan besar yang bergelar Syahin Syah’ Sri Maharaja diraja. Ketika kerajaan dipimpin oleh Syah Ismail, ia menyatakan bahwa mazhab resmi kerajaan adalah Syi’ah. Ia sangat membenci hal-hal yang berbau Ahlus Sunnah. Sebagai dampaknya, ia juga membenci tasawuf. Ia menyarankan kepada semua ahli sufi ketika mengarang syair, hendaklah memasukkan segala hal yang menyangkut propaganda Syi’ah, seperti memuja-muja Husein. Meski begitu, kebencian Syi’ah terhadap para sufi yang begitu dalam membuat banyak ahli sufi yang dikejar-kejar. Banyak ulama Ahlus Sunnah dan ahli sufiyah yang disiksa dan dibunuh. Dari sinilah yang kemudian tasawuf di Persia semakin berkurang dan hilang[1]. 6. Tasawuf Pada Abad Kedelapan Hijriyah Masa Menurunnya Tasawuf Pada masa ini terlihat tanda-tanda keruntuhan tasawuf kian jelas, yang disebabkan seringnya terjadi penyelewengan dan pemikiran ganjil dalam diri kaum sufi dan sekaligus mengancam kehancuran reputasi baik ilmu tasawuf. Tasawuf pada waktu itu telah termasuki bid’ah, khurafat, mengabaikan syari’at, hukum-hukum moral, dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, membentengkan diri dari dukungan awam untuk menghindarkan diri dari rasionalitas, azimat dan ramalan serta kekuatan gaib ditonjolkan. Ada masa ini, muncullah revivalis Islam, Syaikh Ibnu Taimiyah w. 727 H/1329 M, yang dengan lantang menyerang penyelewengan-penyelewengan para sufi tersebut. Dia dikenal kritis, peka terhadap lingkungan sosialnya, polemis dan berusaha meluruskan ajaran Islam yang telah diselewengkan para sufi tersebut. Ibnu Taimiyah melancarkan kritik terhadap ajaran Ittihad, Hullul, dan Wahdat Al–Wujud sebagai ajaran yang menuju kekufuran atheisme. Ibnu Taimiyah membagi fana’ menjadi tiga bagian fana’ ibadah, fana’ syuhud al-qalb, dan fana’ wujud ma siwa Allah. Terhadap fana’ pertama dan kedua, masih dalam batas kewajaran, baik ditinjau dari segi psikologis maupun agamis. Sedangkan fana’ ketiga dianggap menyeleweng dari ajaran Islam dan dianggap kufur. Ibnu Taimiyah cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajarkan Rasulullah Saw, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti aliran thariqah tertentu sebagaimana manusia pada umumnya. Tasawuf model ini yang cocok untuk dikembangkan di masa modern sekarang. Penyebab mundurnya tasawuf di dunia Islam pada abad ini antara lain a. Pada masa itu adalah masa suram-suramnya cahaya perasaan dan pemikiran karena ada rasa keputusasaan dalam dunia Islam. Hal ini dikarenakan Baghdad sebagai jantungnya ilmu pengetahuan telah dihancurkan oleh bangsa Mongol. Ditambah lagi kekuasaan Islam berpindah ke Asia Kecil Turki oleh Turki Utsmani. Sejak itulah pelita timur lambat laun redup. b. Bangsa Barat mengalami zaman Renaissance yang mendorong kemajuan bangsa Barat dalam mengambil alih peradaban dunia. c. Umat Islam hanya bertaklid dalam segala bidang ilmu, yaitu menurut saja kepada apa yang ditulis dan dijelaskan oleh orang-orang terdahulu. Tidak hanya tasawuf, kondisi taklid ini juga terjadi pada beberapa bidang ilmu, seperti ilmu fiqih, Al-Qur’an, hadits, dan teologi kalam. Lebih lanjut dengan semakin surutnya perkembangan tasawuf pada abad VIII Hijriyah ini, maka tidak ada lagi pemikiran baru dalam dunia tasawuf. Meski ada beberapa ahli sastrawan sufi seperti Al-Kassyani atau Al-Kisani w. 739 H/1321 M yang telah banyak menulis buku-buku tentang tasawuf, namun dia tidak mengeluarkan pendapat yang baru. Ada pula seorang sufi besar pada abad ini yang bernama Abdul Karim Al-Jaili, seorang pengarang kitab Insan Kamil’. Isi bukunya sempat membuat gempar para ulama fiqih, karena isinya memperindah konsep-konsep pikiran Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Di dalam abad kesepuluh Hijriyah, muncul kembali seorang sufi yang besar di Mesir, yaitu Abdul Wahab Sya’rani. Ia memiliki banyak karangan, namun sebagian besar isinya sulit diterima oleh rasa, harus memakai akal. Kemudian di abad keduabelas Hijriyah, muncul kembali seorang sufi yang bernama Abdul Ghani An-Nablusi w. 1143 H/1735 M, seorang pengikut Ibnu Arabi[1]. DAFTAR RUJUKAN Al-Barsany, Noer Iskandar. 2001. Tasawuf Tarekat Para Sufi Jakarta Raja Grafindo Persada. Hamka. 1980. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta Yayasan Nurul Islam. Sjukur, Asjwadie. 1978. Ilmu Tasawuf 1. Surabaya Bina Ilmu. Syukur, Amin dan Masyharuddin. 2002. Intelektualisme Tasawuf. Yogyakarta Pustaka Pelajar CATATAN KAKI FOOTNOTE [1] Ibid, hlm. 188-193. [1] Ibid, hlm. 160-187. [1] Amin Syukur dan Masyharuddin, hlm. 25-28; dan Asjwadie Sjukur. hlm. 60. [2] Hamka, hlm. 140-143 [3] Ibid, hlm. 143-151. [1] Ibid, hlm. 55-56. [2] Amin Syukur dan Masyaruddin, hlm. 25-26. [3] Asjwadie Sjukur. hlm. 56. [4] Hamka, hlm. 123-136; dan Asjwadie Sjukur. hlm. 55-59. [1] Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 21-23. [2] Lihat Asjwadie Sjukur, hlm. 42; dan Amin Syukur dan Masyaruddin, hlm. 24-25. [3] Hamka, hlm. 93-95. [4] Hamka, hlm. 96-97; dan Asjwadie Sjukur. hlm. 44-45. [5] Asjwadie Sjukur. hlm. 45-46. [6] Ibid, hlm. 49-55. [1] Ibid, hlm. 39-40. [2] Ibid, hlm. 40-41. [3] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya Jakarta Yayasan Nurul Islam, 1980, hlm. 78-79. [1] Asjwadie Sjukur, Ilmu Tasawuf 1 Surabaya Bina Ilmu, 1978, hlm. 32-35. [2] Ibid, hlm. 35-39. [1] Ibid. [1] Lihat Noer Iskandar Al-Barsany, Tasawuf Tarekat Para Sufi Jakarta Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 8-14. [2] Ibid.Dijelaskandi sini bahwa proses islamisasi melalui saluran perdagangan itu dipercepat oleh situasi dan kondisi politik beberapa kerajaan di mana adipati-adipati 14 Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam, Sezak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2003), hlm. 336. 15 Uka Tjandrasasmita (Ed.), op.cit., hlm. 200
Sejarah Perkembangan Tasawuf 1. Benih tasawuf pada masa Nabi Muhammadd SAW Hidup sufistik, secara tradisional dan historis sudah terdapat pada masa Nabi. Sehari-hari Rasulullah beserta keluarganya selalu hidup sederhana dan apa adanya, di samping beliau menghabiskan waktunya untuk beribadah dan berjihat dalam mendekati Tuhannya. Bukhari menceritakan, bahwa Rasulullah sendiri menegaskan,” kami adalah golongan yang tidak makan kecuali kalau lapar, dan jika kami makan, maka tidaklah sampai kenyang.” Pada lain kesempatan Rasulullah juga bersabda,”kefakiran adalah kebanggaanku.” Dari kenyataan historis di atas, nampak jelas bahwa kehidupan sufi sudah ada sejak zaman Rasulullah dan para sahabatnya. Namun perilaku keshalihan dan kezuhudan itu memudar dan hilang pada masa kekhalifan bani umayyah yang secara licik merebut tahta dari rakyat. Demikian kesaksian al-Kharraz, seorang sufi terkemuka abad k-3 H/ke-9 M. Tradisi-tradisi sufistik itu dapat kita tela’ah dan kita peroleh dari kumpulan khutbah para sahabat, terutama Umar bin al-Khattab, dan yang paling masyhur adalah kebijakan Ali Nahj Al-Balaghah Path of Elloguence yang mengemukakan prinsip tauhid-sufistik. 2. Munculnya Madzhab Sufi Sejarah sufi dipengaruhi oleh dua pikiran, menurut alam pikiran yang berkembang dalam zaman tabi’in. Gerakan sufi terpecah menjadi dua madzhab, sebagaimana aliran-aliran lain dalam islam. Yang satu berpuasat di Basrah sebagai pusat pemerintahan bani umayyah, dan yang satunya lagi berpusat di kuffah, simbol dari kediaman keturunan Ali jalur Hasan dan Husain. Orang-orang Arab di Basrah yang berasal daribangsa tamimi memiliki pembawaan realis dan kritis dalam car berpikir. Gemar terhdapp logika dalam kupasan ilmu bahsa, realis dalam bersair, kritis dalam kupasan hadist, dengan jiwa mu;tazilah dan qodariyahnya dalamm dogmatika. Sedang orang-orang arab di kuffah berasal dari suku bangsa yamani, berpembawaan idealis dan tradisionalis gemar mendalami ilmu bahasa, plato dalam syair, pengikut nadzhab Zhahiri dalam hadist, dengan jiwa syi’ah dan murji’ah dalam dogmatika. Mereka mendapatt guru Rabi’ bin Khaisam w. 686, Abu Israil Mula’i w. 757, Jabir bin Hayyan, Kulaib al-Saidawi, Mansur bin Ammar, Abul Athahiyyah dan Abdak. Ketiga guru terakhir menghabiskan umurnya mengajar di Bagdad yang menjadi pusat gerakan mistik islam sesudah tahun 864 M. Zaman itu merupakan suatu masa pertemuan yang pertama kali antara ilmu tasawwuf dan agama, masa perdebatan secara terang-terangan antara ahli sufi dan para ahli ilmu fiqih, perdebatan antarr Zun Nun al-Mishri W. 854 dengan Nuri dan juga antara Abu Hamzah dengan al-Hallaj, yang di lakukan di hadapan qadhi hakim di Bagdad. 3. Masa Perkembangan Ajaran Sufi Abad 2-9 H/8-15M Era pembentukan ajaran, era pengembangan, era purifikasi doktrin sufi atau era pemantapan doktrin pemurnian 1, dan era purifikasi tradisi sufi yang disebut juga era Neo-sufisme pemurnian 2 pada sisi lain sejaran sufi juga mencatat adanya era kejayaan sufi yang berlangsung sejak abad ke-1 sampai abad ke-9, dan era runtuhnya kejayaan sufisme dari akhir abad ke-9 sampai ke abad 12H. Sementara abad ke-13 samapai awal abad ke 15 saat ini, merupakn era harapan barubagi sejarah sufi, walaupun belum bisa di petakan secara tegas. Tadayyun atau tujuan beragam, yakni melaksanakan peraturan keagamaan secara disiplin dan menyatu dengan kejiwaan dapat terlaksana dengan baik pada masa Nabi, serta masa Hula’urRasyidin yang awalmasa Abu Bakar dan Umar. Masa itu di identikan sebagi era kegemilangan dan kejayaan Islam, dan juga merupakan suatu kurun waktu yang di idealisasikan sebagai era pucakal_shalaf al-shalih dimana secara keseluruhan era ini berlangsung sampai abad ke-3H, era Nabi, era Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ al-Tabi’in. Saat keemasan tersebut berakhir dengan dibunuhnya khalifaf Utsman. Peristiwa itu yang mengawali terkurasnya terkurasnya tenaga umat Islam hanya untuk memikirkan perpecahan intern umat Islam, dan menjadi preseden awal tentang kerusakan akhlak dan tidak lagi meresapnya nilai tauhid dalam kehidupan keagamaan. Kondisi ini diperparah dengan berbagai kejadian pada masa Ali bin Abi Thalib dengan perseteruan politik dengan Muawiyyah, perang Shiffin, kondisi di Nahrawan, fitna Ibnu Zubair, model pemerintahan Bani Umayyah yang otoriter dan berubah menjadi kerajaan serta masalah-masalah lainya. Pada abad ke I H paruh kedua, lahir tokoh sufi Hasan Al- Bashri dengan membawa ajaran khauf dan raja’nya. Sejak itu muncullah benih-benih sistematisasi tasawuf besreta garis-garis besar mengenai jalan thariq penempuhan sufi yang sudah kelihatan disusun. Ini disusul kemudian pada abad I dengan tampilnya Rabi’ah Al-Adawiyah yang terkenal dengan ajaran hubb cinta Illahinya. Corak kezuhudan itu ditandaskan lagi serta dikembangkan secara intensif pada abad ke II, terutama didorong oleh suasana politik yang sangat mendominasi kehidupan masyarakat, serta adanya kecenderungankehidupan pejabat yang materialistis dan individualis. Era pengembangan terjadi pada abad ke-3 dan ke-4 abad-abad ini, tasawuf sudah bercorak kefanaan yang menjurus kepada doktrin kebersatuan. Persoalan latihan ruhani yang bisa membawa kepada Tuhannya menjadi mengemuka. Pada era abad ke-4 inilah juga terdapat periode penting dalam gerakan tasawuf amaly, atau thariqoty. Al-Hujwiri al –farisi yang menulis pada pertengahan abad ke-5/ ke-11 menyatakan tak kurang dari 12 “sekte” tasawuf, 10 yang dinyatakan ortodoks mu’abar, sedang yang 2 bid”ah. Pada abad ke IV ini muncul juga kitab risalah umum yang palint tua dan masih bertahan hingga sekarang, yakni Al-Luma’, karya Abu Nashr al-Saaraj w. 378/988. Di dala kitab itu, kita akan dikenalkan dengan tokoh sufi teosofis,Abu Thalib a-Makki w. 386/996 yang semasa dengannya, yang menulis kompendium berbahasa arab mengenai ujaran-ujaran ulama’ sufi, dalam kitab termasyhur Qut al-Qulub pembekalan hati yabg di bandang sebai kitab perintis dan berhasill dalam membangun gagasan menyeluruh sufisme. Era purifikasi doktrin sufi atau era pemantapan doktrin pemurnian 1, terjadi pada abad ke 5 H. Pada masa ini terjadi kompetisi antara tasawuf yang berbau filsafat dengan tasawuf model kaum sunni permulaan. Tasawuf sunni memenangkan pertarungan, sedangkan tawanannya tenggelam dan kemudian muncul kembali pada abad ke-6. Pada masa ini kita saksikan tesawuf berdiri kokoh dan menyebar luas di segenap penjuru dunia muslim. Tokoh-tohoh tasawuf ini adalah Al-Qusyairi, Al-Hujwiri, danAl Ghazali.. Sedangkan era purifikasi tradisi sufi yang disebut juga era Neo-Sufisme pemurnian II terjadi pada awal-awal abad pada era ini di tandai dengan corak falsafy, yakni kompromi serta pemakaian term-term filsafat yang disesuaikan dengan tasawuf. Tokoh-tokoh corak falsify ini antara lain, Muhyidin Ibnu Al-Arabi; Syuhrawardi Al-Maqtul; dan Ibnu Syib’in. dari embrio itulahordo-ordo sufi berkembang, yang pada abad ke-6 mengkristal dalam bentuk pelembagaan thariqat sufi. Seiring dengan makin berkibarnya sufi-thariqoh, sebenarnya mulai pertengahan akhir abad ke-9, dunia tasawuf berada di ambang pintu yang mengkhawatirkan, sebab padad abad ini, hingga abad ke-13, bahkan akhir abad ke-14 , sufisme islam yang dulunya cemerlang dan mampu membawa pencerahan masyarakat muslim, yang mengharumkan agama terakhir iniengalami degradasi, baik kuantitas maupun kualitasnya. 4. Masa-masa runtuhnya tasawuf Dalam sejarah peradaban Islam, abad ke-9 sampai abad ke-12 H dikena lsebagai era kevakuman dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang pemikiran Islam, dan perkembangan tasawuf ini. Keruntuhan sufisme de sebabkan adanya kolaborasi penguasa dengan para sufi. Kebrobokan moralitas intelektual dan moralitas spiritual itu terjadi merambah hampir di seluruh dunia Islam, yang sebagiannya di akibatkan karena kekalahan Islam dalam perang Salib, dan pengaruh kolonialisme yang mulai merambah seluruh dunia. Penyimpangan tasawuf banyak terjadi, atau masih ada sebagian yang konsisten dengan menggunakan tasawuf sebagai alat jihad. Pada abad ke-9 H, lahir tokoh ulama besar tasawuf, Syaikh Naqsyabandi Bahauddin Muhammad bin Muhammad Al-Uwaisy Al-Nukhari yang kemudian mendirikan thariqath Nasabandiyyah, yang cukup berpengaruh di Asia dan Afrika. 5. Taswuf di Dunia Modern Pada abad ke-19, 20, dan sampai awal abad ke-21 ini, terdapat banyak kaum Muslim yang berusaha membangkitkan kembali ajaran-ajaran dan praktek Islam otentik, bukan sekedar untuk menghadapi dominasi politik dan kultural Barat. Hingga sekarang, sebagian besar pengamat Barat masih menganggap kaum pembaru jenis ini sebagi harapan Islam untuk memasuki abad modern. Akan tetapi, dewasa ini, hancurnya identitas budaya Barat dan bangkitnya kesadran tentang akar-akar ideologisdari gagasan-gagasan seperti kemajuan dan pembangunan sudah membuat kaum modernis fanatik semakin ter;liat naif, seklipun tidak berbahaya Sementara itu banyak guru sufi yang berusah sekuat tenaga untuk membangkitkan warisan Islam dengan memuasatkan perhatian pada apa yang mereka pandang sebagai penyebab seluruh kekakcauan , yakni sikap melupakan Allah. Dewasa ini, umat Islam tampaknya lebih bayak memperoleh isnspirasi dari guru-guru sufi daripada kaum intelektual moderniis, yangtelah tercerabut dari massa karena latar belakang akademis Barat mereka. Sejalan dengan kebangkitan tasawuf di dunia Islam adalah tersebarnya ajaran-ajaran sufi di Barat. Tasawuf spiritualis-0batiniah diperkenalkan pada awal abad ini oleh para guru musisi India, Inayat Khan. Ajaran-ajarannya kemudian di teruskan oleh putranya Pir Vilayat Inayat Khan, guru bagi kelompok Neww Age semacam Fritjof Capra dan sebagainya. Di Perancis, tasawuf umum diterima secara luas di kalangan kaum intelektualmelalui tulisan-tulisan seorang matematikawan yang kemudian beralih mjenjadi metafisikawan, Rene Guenon, juga dikenal sebagai Syaikh Abd Al-Wahid. Selain itu, masih banyak terdapat guru-guru sufi kontemporerlain seperti Syeikh fadhallah Haeri, atau Feisal Abdul Rauf. Merekalah sebagian dari yang tetap berjuang menjadi suluh atau obor sufi di tengah kegelapan kehidupan modern dewasa ini. Sumber Tasawuf Aktual. Muhammad Sholikhin. SemarangPustaka Nuun. 2002
PerkembanganIslam Abad Pertengahan (1250-1800) PerkembanganIslam, mengalami dua fase yaitu fase kemajuan dan fase kemunduran. Fase kemajuanterjadi pada tahun 650 -1250 Myang ditandai dengan sangat luasnya kekuasaan Islam, ilmu dan sain mengalami kemajuan dan penyatuan antar wilayah Islamdan fase kemunduran terjadi pada tahun 1250 - 1500 M. yang ditandai dengan kekuasaan Islam terpecah-pecah
Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari gerakan zuhud yang selanjutnya berkembang menjadi tasawuf. Meskipun tidak persis dan pasti, corak tasawuf dapat dilihat dengan batasan- batasan waktu dalam rentang sejarah sebagai berikut A. ABAD PERTAMA DAN KEDUA HIJRIYAH Fase abad pertama dan kedua Hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut sebagai fase tasawuf tapi lebih tepat disebut sebagai fase kezuhudan. Adapun ciri tasawuf pada fase ini adalah sebagai berikut 1. Bercorak praktis amaliyah Tasawuf pada fase ini lebih bersifat amaliah dari pada bersifat pemikiran. Bentuk amaliah itu seperti memperbanyak ibadah, menyedikitkan makan minum, menyedikitkan tidur dan lain sebagainya. Amaliah ini menjadi lebih intensif terutama pasca terbunuhnya sahabat Utsman. Para sahabat Nabi digambarkan oleh Allah sebagai orang yang ahli rukuk dan sujud, مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْأِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً 29 Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir dengan kekuatan orang-orang mukmin. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. al-Fath 29 Menurut Abd al-Hakim Hassan, abad pertama hijriyah terdapat dua corak kehidupan spiritual. Pertama, kehidupan spiritual sebelum terbunuhnya Utsman dan kedua, kehidupan spiritual pasca terbunuhnya Utsman. Kehidupan spiritual yang pertama adalah Islam murni, sementara yang kedua adalah produk persentuhan dengan lingkungan, akan tetapi secara prinsipil masih tetap bersandar pada dasar kehidupan spiritual Islam pertama. Peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman merupakan pukulan tersendiri terhadap perasaan kaum muslimin. Betapa tidak, Utsman adalah termasuk kelompok pertama orang-orang yang memeluk Islam al- Sabiqun al-Awwalun , salah seorang yang dijanjikan masuk surga, orang yang dengan gigih mengorbankan hartanya untuk perjuangan Islam dan orang yang mengawini dua putri Nabi. Peristiwa Utsman mendorong munculnya kelompok yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian politik memilih tinggal di rumah untuk menghindari fitnah serta konsentrasi untuk beribadah. Sehingga al-Jakhid salah seorang yang berkonsentrasi dalam ibadah yang juga salah seorang santri Ibn Mas’ud berkata, “Aku bersyukur kepada Allah sebab aku tidak terlibat dalam pembunuhan Utsman dan aku shalat sebanyak seratus rakaat dan ketika terjadi perang Jamal dan Shiffin aku bersyukur kepada Allah dan aku menambahi shalat dua ratus rakaat demikian juga aku menambahi masing-masing seratus rakaat ketika aku tidak ikut hadir dalam peristiwa Nahrawan dan fitnah Ibn Zubair”. 2. Bercorak kezuhudan Tasawuf pada pase pertama dan kedua hijriyah lebih tepat disebut sebagai kezuhudan. Kesederhanaan kehidupan Nabi diklaim sebagai panutan jalan para zahid. Banyak ucapan dan tindakan Nabi s.. yang mencerminkan kehidupan zuhud dan kesederhanaan baik dari segi pakaian maupun makanan, meskipun sebenarnya makanan yang enak dan pakaian yang bagus dapat dipenuhi. Dan secara logikapun tidak masuk akal seandaikata Nabi s.. yang menganjurkan untuk hidup zuhud sementara dirinya sendiri tidak melakukannya. Kezuhudan para sahabat Nabi digambarkan oleh Hasan al-Bashri salah seorang tokoh zuhud pada abad kedua Hijriyah sebagai berikut, ”Aku pernah menjumpai suatu kaum sahabat Nabi yang lebih zuhud terhadap barang yang halal dari pada zuhud kamu terhadap barang yang haram”. Pada masa ini, juga terdapat fenomena kezuhudan yang cukup menonjol yang dilakukan oleh sekelompok sahabat Rasul yang di sebut dengan ahl al- Shuffah. Mereka tinggal di emperan masjid Nabawi di Madinah. Nabi sendiri sangat menyayangi mereka dan bergaul bersama mereka. Pekerjaan mereka hanya jihad dan tekun beribadah di masjid, seperti belajar, memahami dan membaca al-Qur`an, berdzikir, berdoa dan lain sebagainya. Allah sendiri juga memerintahkan Nabi untuk bergaul bersama mereka, وَلا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِنْ شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ 52 Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaanNya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu berhak mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim. al-An’am 52 Kelompok ini dikemudian hari dijadikan sebagai tipe dan panutan para shufi. Dengan anggapan mereka adalah para sahabat Rasul dan kehidupan mereka adalah corak Islam. Di antara mereka adalah Abu Dzar al-Ghifari yang sering disebut sebagai seorang sosial sejati dan sekaligus sebagai prototip fakir sejati, si miskin yang tidak memiliki apapun tapi sepenuhnya dimiliki Tuhan, menikmati hartaNYA yang abadi, Salman al-Faritsi, seorang tukang cukur yang dibawa ke keluarga Nabi dan menjadi contoh adopsi rohani dan pembaiatan mistik yang kerohaniannya kemudian dianggap sebagai unsur menentukan dalam sejarah tasawuf Parsi dan dalam pemikiran Syiah, , Abu Hurairah, salah seorang perawi Hadits yang sangat terkenal adalah ketua kelompok ini, Muadz Ibn Jabal, Abd Allah Ibn Mas’ud, Abd Allah ibn umar, Khudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Bilal ibn Rabah, Ammar ibn Yasar, Shuhaib al-Rumy, Ibn Ummu Maktum dan Khibab ibn al-Arut. Menurut Abd al-Hakim Hassan corak kehidupan spiritual Ahl al-Shuffah sebenarnya bukan karena dorongan ajaran Islam, akan tetapi corak itu didorong oleh keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan, sehingga mereka tinggal di masjid. Keadaan itu nampak dari anjuran Rasul Allah kepada sebagian sahabat yang berkecukupan agar memberikan makan kepada mereka. Dan mereka para sahabat yang secara ekonomi berkecukupan dan tidak melakukan sebagaimana ahl al-Shuffah pun juga menjadi panutan bagi orang-orang bijak. 3. Kezuhudan didorong rasa khauf Khauf sebagai rasa takut akan siksaan Allah sangat menguasai sahabat Nabi dan orang – orang shalih pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Informasi al-Qur`an dan Nabi tentang keadaan kehidupan akhirat benar-benar diyakini dan mempengaruhi perasaan dan pikiran mereka. Rasa khauf menjadi semakin intensif terutama pada pemerintahan Umayah pasca jaman kekhilafahan yang empat. Pada masa pemerintahan Umayah, khauf tidak hanya sebatas sebagai rasa takut terhadap kedasyatan dan kengerian tentang kehidupan diakhirat akan tetapi khauf juga berarti kekhawatiran yang mendalam apakah pengabdian kepada Allah bakal diterima atau tidak. Pada masa ini pula, khauf menjadi sebuah pendekatan untuk mengajak orang lain pada kebenaran dan kebaikan. Pendekatan indzar menakut-nakuti lebih dominan dari pada pendekatan tabsyir memberi kabar gembira . Semangat kelompok keagamaan pada masa ini adalah penyebaran rasa takut kepada Allah, kritik terhadap kehidupan yang melenceng jauh dari nilai-nilai keagamaan pada masa Nabi dan dua khalifah sesudahnya dan memperbanyak ibadah. Tokoh utama keagamaan pada masa ini adalah Hasan al-Bashri. Bahkan para asketis – yang nantinya disebut sebagai para shufi – mengidentikkan pemerintah dengan kejahatan. 4. Sikap zuhud dan rasa khauf berakar dari nash dalil Agama Al-Qur`an dan al-Hadits memberikan informasi tentang kebenaran sejati hidup dan kehidupan. Keduanya memberikan gambaran tentang perbandingan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Keduanya memberikan informasi tentang kengerian kehidupan akhirat bagi orang-orang yang mengabaikan huum-hukum Allah. Selanjutnya orang – orang mukmin benar-benar meyakini informasi itu. Dan keyakinan itu melahirkan rasa khauf. Rasa khauf selanjutnya memunculkan sikap zuhud yaitu sikap menilai rendah terhadap dunia dan menilai tinggi terhadap akhirat. Dunia dijadikan sebagai alat dan lahan mazraah untuk mencapai kebahagian abadi dan sejati yaitu akhirat. 5. Sikap zuhud untuk meningkatkan moral Cinta dunia telah membuat saling bunuh dan saling fitnah antar sesama. Cinta dunia melahirkan ketidaksalehan ritual, personal maupun sosial. Itulah sebabnya Hasan al-Bashri sebagai salah seorang zahid dalam mengajak baik masyarakat maupun pemerintah para pemimpin kerajaan Umayah selalu mengajak untuk bersikap zuhud sebagaimana sikap ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sahabat Nabi yang setia. 6. Sikap zuhud didukung kondisi sosial-politik Meski sikap zuhud tanpa adanya keadan sosial politik tertentu masih tetap eksis lantaran al-Qur`an dan perilaku serta perkataan Nabi s.. mendorong untuk bersikap zuhud, namun keadaan sosial politik yang kacau turut menyuburkan tumbuhnya sikap zuhud. Selama abad pertama dan kedua hijriyah terutama setelah sepeninggal Rasul terdapat dua sistem pemerintahan , yaitu sistem pemerintahan kekhalifahan khilafah nubuwah dan sistem pemerintahan kerajaan mulk .Pemerintahan pertama berlangsung selama tiga puluh tahun sesudah Nabi Muhammad yaitu sejak permulaan kekhalifahan Abu Bakar hingga Ali bin Abi thalib tepatnya dari tahun 11 H/ 632 M. sampai dengan tahun 40 H./661 H. Mereka adalah para pengganti Nabi yang berpetunjuk al-khulafa` al-Rasidun . Sistem pemerintahan yang pertama ini mekanisme penggantiannya melalui pemilihan. Pemerintahan kedua sejak pemerintahan dinasti Umayyah tepatnya sejak tahun 41 H./661 M. Dan pemerintahan kedua ini mekanisme pengangkatan pemimpin tertinggi melalui petunjuk atau wasiat penguasa berdasarkan pertalian darah. Pemerintahan kekhalifahan, dalam pandangan banyak orang muslim, suatu bentuk kesalihan dan rasa tanggungjawab yang sangat dalam, sedangkan dinasti umayyah pada umumnya hanya tertarik pada kekuasaan itu sendiri. Kecaman yang sering ditujukan pada dinasti Umayyah adalah dinasti ini tidak menerapkan kebijakan untuk membuat asas Islam sebagai dasar bagi keputusan – keputusan administratif, oleh karenanya dinasti Umayyah lebih menomorsatukan politik dan menomorduakan agama. Mereka pada umumnya dianggapmenghamba duniawi dan kurang beriman. Menurut Abd al-Hakim Hassan, abad pertama hijriyah terdapat dua corak kehidupan spiritual. Pertama, kehidupan spiritual sebelum terbunuhnya Utsman dan kedua, kehidupan spiritual pasca terbunuhnya Utsman. Kehidupan spiritual yang pertama adalah Islam murni, sementara yang kedua adalah produk persentuhan dengan lingkungan, akan tetapi secara prinsipil masih tetap bersandar pada dasar kehidupan spiritual Islam pertama. a. Fase Sebelum Terbunuhnya Khalifah Utsman Kehidupan spititual Islam sebelum terbunuhnya Utsman terhitung sejak masa Rasul dan masa dua khalîfah sesudahnya yaitu khalîfah Abu Bakar dan Umar. Kehidupan spiritual pada masa ini termasuk Islam murni. Ciri utamanya adalah amal untuk merealisasikan dua kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagian besar sahabat Rasul tidak mengalahkan akhirat untuk dunia atau sebaliknya. Pada masa ini, terdapat fenomena kehidupan spiritual yang cukup menonjol yang dilakukan oleh sekelompok sahabat Rasul yang di sebut dengan ahl al- Shuffah. Mereka tinggal di emperan masjid nabawi di Madinah. Nabi sendiri sangat menyayangi mereka dan bergaul bersama mereka. Pekerjaan mereka hanya jihad dan tekun beribadah di masjid seperti belajar, memahami dan membaca al-Qur`an, berdzikir, berdoa dan lain sebagainya. Kelompok ini dikemudian hari dijadikan sebagai tipe dan panutan para shufi. Dengan anggapan mereka adalah para sahabat Rasul dan kehidupan mereka adalah corak Islam. Di antara mereka adalah Abu Dzar al-Ghifari yang sering disebut sebagai seorang sosial sejati dan sekaligus sebagai prototip fakir sejati, si miskin yang tidak memiliki apapun tapi sepenuhnya dimiliki Tuhan, menikmati hartaNYA yang abadi, Salman al-Fartsi, seorang tukang cukur yang dibawa ke keluarga Nabi dan menjadi contoh adopsi rohani dan pembaiatan mistik yang kerohaniannya kemudian dianggap sebagai unsur menentukan dalam sejarah tasawuf Parsi dan dalam pemikiran Syiah, , Abu Hurairah, salah seorang perawi hadits yang sangat terkenal adalah ketua kelompok ini, Muadz Ibn Jabal, Abd Allah Ibn Mas’ud, Abd Allah ibn umar, Khudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Bilal ibn Rabah, Ammar ibn Yasar, Shuhaib al-Rumy, Ibn Ummu Maktum dan Khibab ibn al-Arut. Menurut Abd al-Hakim Hassan corak kehidupan spiritual Ahl al-Shuffah sebenarnya bukan karena dorongan ajaran Islam, akan tetapi corak itu didorong oleh keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan, sehingga mereka tinggal di masjid. Keadaan itu nampak dari anjuran Rasul Allah kepada sebagian sahabat yang berkecukupan agar memberikan makan kepada mereka. Dan mereka para sahabat yang secara ekonomi berkecukupan dan tidak melakukan sebagaimana ahl al-Shuffah pun juga menjadi panutan bagi orang-orang bijak. Kesederhanaan kehidupan Nabi juga diklaim sebagai panutan jalan para shufi. Banyak ucapan dan tindakan Rasul yang mencerminkan kehidupan zuhud dan kesederhanaan baik dari segi pakaian ataupun makanan, meskipun makanan yang enak dan pakaian yang bagus dapat dipenuhi. Hal itu berlangsung hingga ahir hayat Rasul Allah. Dan secara logikapun tidak masuk akal seandaikata Rasul yang menganjurkan untuk hidup zuhud dan sederhana sementara dirinya sendiri tidak melakukannya b. Fase Pasca Terbunuhnya Khalifah Utsman Pasca terbunuhnya khalifah Utsman, kehidupan spiritual mengalami perubahan dibandingkan dengan masa sebelumnya. Peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman merupakan pukulan tersendiri terhadap perasaan kaum muslimin. Betapa tidak, Utsman adalah termasuk kelompok pertama orang-orang yang memeluk Islam al- Sabiqin al-Awwalin , salah seorang yang dijanjikan masuk surga, dan orang yang mengawini dua putri Nabi. Peristiwa Utsman mendorong munculnya kelompok yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian politik memilih tinggal di rumah untuk menghindari fitnah serta konsentrasi untuk beribadah. Sehingga al-Jakhid salah seorang yang berkonsentrasi dalam ibadah yang juga salah seorang santri Ibn Mas’ud berkata, “Aku bersyukur kepada Allah sebab aku tidak terlibat dalam pembunuhan Utsman dan aku shalat sebanyak seratus rakaat dan ketika terjadi perang Jamal dan Shiffin aku bersyukur kepada Allah dan aku menambahi shalat dua ratus rakaat demikian juga aku menambahi masing-masing seratus rakaat ketika aku tidak ikut hadir dalam peristiwa Nahrawan dan fitnah Ibn Zubair”. Dengan demikian pada masa ini mempunyai corak baru dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin. Fenomena keagamaan itu ditandai dengan munculnya para juru cerita al-Qashshas baik di masjid-masjid ataupun di tempat khalayak ramai dan para qurra` yaitu mereka yamg membaca al-Qur,an dengan menangis. Markas utama para qurra itu ada di Bashra. 2. Fase Abad Kedua Hijriyah Kehidupan spiritual pada fase ini mempunyai ciri tersendiri. Konsep zuhud yang semula berpaling dari kesenangan dan kemewahan dunia berubah menjadi pembersihan jiwa, pensucian hati dan pemurnian kepada Allah. Latihan-latihan diri al-riyâdlah sangat menonjol pada fase ini seperti menyepi khalwah , bepergian siyâhah , puasa al-shwm dan menyedikitkan makan qillah al-tha’âm bahkan sebagaian mereka tinggal di gua-gua. Menurut Ibn Khaldun, orang yang mengkonsentrasikan beribadah pada fase ini mendapatkan julukan al-Shufiyah atau al-Mutashawwifah. Tema sentral zuhud pada fase ini adalah tawakal dan ridlâ. Konsep tawakal dan ridlâ yang terdapat dalam al-Qur`ân itu yang oleh para asketis sebelumnya dalam arti etis berubah menjadi madzhab yang sangat ektrim. Itulah pada fase ini banyak kalangan asketis zâhid melakukan perjalanan masuk ke hutan dengan bertawakal tanpa bekal apapun dan mereka rela terhadap karunia apa saja yang mereka terima. Tokoh terkenal madzhab tawakal adalah Ibrahim bin Adham w. 161 H. / 790 M. . Ia meninggalkan kehidupan kebangsawanan di Balkh ibu kota kaum Budish tempat ia dilahirkan. Perkembangan doktrin tawakal ini pada perkembangannya mengarah kepada konsep sentral shufi tentang hubungan manusia dan Tuhan, konsep ganda tentang cinta dan rahmat melebur dalam suatu perasaan. Nampaknya Kehidupan spiritual pada fase ini terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh luar. Cerita Malik ibn Dinar banyak diriwayatkan dari al-Masih, Taurat dan pendeta. Kehidupan Ibrâhim ibn Adham menyerupai kehidupan Sidarta Gautama, seorang peletak agama Budha. Adalah hal biasa seorang abid kontak dengan para pendeta râhib . Mereka saling tukar pengalaman mengenai kebijaksanaan al-hikmah, wisdom dan cara-cara mujahadah. Itulah sebabnya fase abad kedua hijriyah ini terutama pasca Hasan al- Bashri dapat disebut sebagai fase transisi dari zuhud, yang puncaknya pada Hasan al-Bashri menuju tasawuf yang dimulai sejak Râbiah al-Adawiyah. Fase ini juga kadang disebut dengan fase kelompok para penangis al – Bukkâ’un . 3. Fase Abad III dan IV Hijriyah Apabila abad pertama dan kedua Hijriyyah disebut fase asketisisme kezuhudan , maka abad ketiga dan keempat disebut sebagai fase tasawuf. Praktisi kerohanian yang pada masa sebelumnya digelari dengan berbagai sebutan seperti zahid, abid, nasik, qari` dan sebagainya, pada permulaan abad ketiga hijriyah mendapat sebutan shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani mereka tidak semata – mata kebahagian akhirat yang ditandai dengan pencapaian pahala dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati hubungan langsung dengan Tuhan yang didasari dengan cinta. Cinta Tuhan membawa konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk kedalam yang dicintai fana fi al-mahbub . Kondisi ini tentu akan mendorong ke persatuan dengan yang dicintai al-ittihad . Di sini telah terjadi perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat. Pada fase ini muncul istilah fana`, ittihad dan hulul. Fana adalah suatu kondisi dimana seorang shufi kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik al-hissiyat. Ittihad adalah kondisi dimana seorang shufi merasa bersatu dengan Allah sehingga masing-masing bisa memanggil dengan kata aku ana . Hulul adalah masuknya Allah kedalam tubuh manusia yang dipilih. Di antara tokoh pada fase ini adalah Abu yazid al-Busthami H. dengan konsep ittihadnya, Abu al-Mughits al-Husain Abu Manshur al-Hallaj 244 – 309 H. yang lebih dikenal dengan al-Hallaj dengan ajaran hululnya. al-Hallaj dilahirkan di Persia dan dewasa di Iraq Tengah. Dia meghadapi empat tuduhan yang ahirnya membawanya dieksekusi di tiang salib. Empat tuduhan yang dituduhkan kepadanya adalah, 1. Hubungannya dengan kelompok al-Qaramithah 2. Ucapannya ” أنا الحقّ saya adalah tuhan yang maha benar 3. Keyakinan para pengikutnya tentang ketuhanannya 4. Pendapatnya bahwa menunaikan ibadah haji tidak wajib Tokoh lainnya adalah Dzunnun al-Mishri w. 245 H. yang dikenal dengan pencetus ma’rifat. Dia pernah belajar ilmu Kimia dari Jabir bin Hayyan. Dia juga dianggap orang yang berbicara pertama kali tentang maqamat dan ahwal di Mesir., al-Hakim al-Tirmidzi w. 320 H. dengan konsep kewalian, Abu Bakar al-Sibli H. 4. Fase Abad V Hihriyah Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli yaitu al-Qur`an dan al-Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi sunnah Nabi dan para sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syariah atau tradisi sunnah Nabi dan sahabatnya. Tokoh tasawuf pada fase ini adalah Abu Hamid al-Ghazali H atau yang lebih dikenal dengan al-Ghzali. Ia dilahirkan di Thus Khurasan. Ia hidup dalam lingkungan pemikiran maupun madzhap yang sangat hitorigen. al-Ghazali dikenal sebagai pemuka madzhab kasyf dalam makrifat. Tentang kesunnian al-Ghazali dikomentari oleh muridnya Abdul Ghafir al-Faritsi,”Ahirnya al-Ghazali berkonsentrasi pada hadits Nabi al-Mushthofa dan berkumpul bersama-sama ahli Hadits dan mempelajari kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih al-Muslim Dia menerima tasawuf dari kelompok persia menuju tasawuf suuni. Itulah sebabnya ia banyak menyerang filsafat Yunani dan menunjukkan kelemahan-kelemahan aliran batiniyyah. Di antara buku karangannya adalah Tahafut al-Falasifah, al-Munqidz Min al-Dlalal dan Ihya` Ulum al-Din. Tokoh lainnya adalah Abu al-Qasim Abd al-Karim bin Hawazin Bin Abd al-Malik Bin Thalhah al-Qusyairi atau yang lebih dikenal dengan al-Qusyairi 471 H. , al-Qusyairi menulis al-Risalah al-Qusyairiyah terdiri dari dua jilid. Abad VI Hijriyah Fase ini ditandai dengan munculnya tasawuf falsafi yakni tasawuf yang memadukan antara rasa dzauq dan rasio akal , tasawuf bercampur dengan filsafat terutama filsafat Yunani. Pengalaman – pengalaman yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan hamba kemudian diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti konsep wahdah al-wujud yakni bahwa wujud yang sebenarnya adalah Allah sedangkan selain Allah hanya gambar yang bisa hilang dan sekedar sangkaan dan khayali. Tokoh –tokoh pada fase ini adalah Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Arabi 560 – 638 H. dengan konsep wahdah al-Wujudnya. Ibnu Arabi yang dilahirkan pada tahun 560 H. dikenal dengan sebutan as-Syaikh al-Akbar Syekh Besar. Di masa mudanya, ia pernah menjadi sekretaris hakim tingkat wilayah. Sakit keras yang pernah dialami mengubah sikap hidup yang sangat drastis. Dia menjadi seorang zahid dan abid. Dia menghabiskan waktunya di beberapa kota di Andalusia dan di Afrika Utara untuk bertemu para guru shufi. Umur tiga puluh tahun pindah ke Tunis kemudia ke Fas. Disini, Ibnu Arabi menulis buku berjudul al-Isra Ila Maqam al-Asra الإسراء إلى مقام الأسرى . Kemudian pergi ke Kairo dan al-Quds yang kemudian diteruskan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ibnu Arabi beberapa tahun tinggal di Mekkah dan disinilah ia menyusun kitab Taj al-Rasail تاج الرسائل dan Ruh al-Quds روح القدس dan pada tahun 598 H. Mulai menulis kitab yang sangat terkenal al-Futuhat al-Makkiyyah الفتوحات المكية. Ahirnya Ibnu Arabi tinggal di Damaskus dan menulis kitab Fushush al-Hikam فصوص الحِكَم . Ibnu Arabi meninggal pada tahun 638 H. Tokoh lainnya adalah al-Syuhrawardi 549 – 587 H. dengan konsep Isyraqiyahnya. Ia dihukum bunuh dengan tuduhan telah melakukan kekufuran dan kezindikan pada masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayubi. Diantara kitabnya adalah Hikmat al-Israq. Tokoh berikutnya adalah Ibnu Sab’in 667 H. dan Ibn al-Faridl 632 H. Pada abad VI juga ditandai dengan munculnya tariqat yakni madrasah shufi yang bertujuan membimbing calon shufi menuju pengalaman ilahi melalui teknik dzikir tertentu. Oleh sebagian orang dikatakan bahwa munculnya taiqat adalah untuk membantu orang-orang –awam agar ikut mencicipi tasawuf karena selama ini pengalaman tasawuf hanya dialami oleh orang-orang tertentu saja khawash. Disamping itu kehadiran thariqat juga untuk memagari tasawuf agar senantiasa berada dalam koridor syariat. Itulah sebabnya sistem thariqat sangat ketat.
SejarahPerkembangan Islam Di Indonesia. Pada abad ke-1 hingga ke-7 M, pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan Jawa sering disinggahi pedagang asing, seperti Pelabuhan Lamuri (Aceh), Barus dan Palembang di Sumatra serta Pelabuhan Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa. Cikal bakal keberadaan Islam di Nusantara telah dirintis pada periode abad ke-1 PENDAHULUAN Manusia sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun memiliki pancaindera, akal dan hati sanubari. Ketiga potensi ini harus bersih, sehat, berdaya guna dan dapat bekerja sama secara harmonis. Untuk menghasilkan kondisi seperti ini ada tiga bidang ilmu yang berperan penting. Pertama, fikih berperan dalam membersihkan dan menyehatkan pancaindera dan anggota tubuh. Istilah yang digunakan fikih untuk pembersihan dan penyehatan pancaindera dan anggota tubuh ini adalah thaharah barsuci. Kedua, filsafat beeperan dalam menggerakan, menyehatkan dan meluruskan akal pikiran. Karenanya filsafat banyak berurusan dengan dimensi metafisik dari manusia, dalam rangka menghasilkan konsep-konsep yang menjelaskakn inti tentang sesuatu. Ketiga, tasawuf berperan dalam membersihkan hati sanubari. Karenanya tasawuf banyak berurusan dengan dimensi esotorik batin dari manusia. 2. PEMBAHASAN Pengertian Tasawuf Para ulama tasawuf dalam penggunaan kata tasawuf berebeda pendapat tentang asal usul katanya.[1] Lafal tasawuf merupakan mashdar kata jadian bahasa Arab dari fi’il kata kerjaتصوف يتصوف تصوفا yang merupakan فعل مزيد بحرفين kata kerja tambahan dua huruf; yaitu “Ta” dan “Tasydid” yang sebenarnya berasal dari فعل مجزد ثلاثي kata kerja dari tiga huruf, yang berbunyi يصوف صاف menjadi صوفا mashdar; yang artinya mempunyai bulu yabg banyak. Perubahan dari kata صوفا يصوف صوف menjadi kata ثصوف يثصوف ثصوفا yang diistilahkan dalam bahasa Arab ; yang artinya menjadi atau berpindah.[2] Jadi lafal الثصوف at tasawufu yang artinya menjadi berbulu yang banyak; dengan arti sebenarnya adalah menjadi sufi, yang ciri khas pakaiannya selalu terbuat dari bulu domba wol.[3] Ada yang mengemukakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata shafa yang berarti suci, bersih atau murni. Pandangan lain mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata shaff yaitu barisan. Demikian pula ada yang mengatakan bahwa tasawuf dari kata ash-shufu yang artinya buku atau wol kasar.[4] Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahlinya antara lain Asy-Syekh Muhammmad Amin Al-Kundy mengatakan “Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihknnya dari sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridhaan Allah dan meninggalkan larangan-Nya menuju kepada perintah-Nya”[5]. Imam Al-Ghazali mengemukakan pendapat Abu Bakar Al-Kataany yang mengatakan “Tasawuf adalah budi pekerti; barang siapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam tasawuf. Maka hamba yang jiwanya menerima perintah untuk beramal karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan nur petunjuk islam. Dan Ahli Zuhud yang jiwanya menerima perintah untuk melakukan beberapa akhlaq terpuji, karena mereka telah melakukan suluk dengan nur petunjuk imannya”.[6] As-Suhrawardy mengemukakan pendapat Ma’ruf Al-Karakhy yang mengatakan “Tasawuf adalah mencari hakikat dan meninggalkan sesuatu yang ada di tangan makhluk kesenangan duniawi”.[7] Dari berbagai pandangan ulama tasawuf tentang asal usul kata tasawuf dapat disimpulkan bahwa pengertian tasawuf adalah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa secara benar kepada mal shalih dan kegiatan yang sungguh-sungguh, menjauhkan dri dari keduniaan dalam rangka pendekatan diri kepada Allah untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat denganNya.[8] Sejarah Asal Mula Tasawuf Fase Pertama Abad 1-2 H/7-8 M Sebenarnya kehidupan sufi sudah terdapat pada diri Nabi Muhammad Saw. Dimana dalam sebuah kehidupan beliau sehari-hari terkesan amat sederhana dan menderita, disamping menghabiskan waktunya untuk beribadah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT.[9] Bahkan seperti diketahui, bahwa beliau diangkat sebagai Rasul Allah, beliau sering kali melakukan kegiatan sufi dengan melakukan uzlah di Gua Hira selama berbulan-bulan lamanya sampai beliau menerima wahyu pertama saat diangkat sebagai Rasul Allah. Setelah beliau resmi diangkat sebagai Nabi utusan Allah, keadaan dan cara hidup beliau masih ditandai oleh jiwa dan kerakyatan, meskipun beliau berada dalam lingkaran keadaan hidup dapat terpenuhi semua keinginan lantaran kekuasaannya sebagai Nabi yang menjadi kekasih Tuhannya.[10] Perkembangan Tasawuf pada Masa Sahabat Para sahabat juga mencontohi kehidupan Rasulullah yang serba sederhana, di mana hidupnya hanya semata-mata diabdikan kepada tuhanya. Beberapa sufi di abad pertama, dan berfungsi sebagai mahaguru bagi pendatang dari luar kota Madinah, yang tertarik kepada kehidupan sufi. Sahabat-sahabat yang dimaksud adalah Abu Bakar As-sidiq W. 13 H Umar bin Khattab W. 23 H Usman bin Affan W. 35 H Ali bin Abi Thalib W. 40 H Salman Al-Farisy Abu Zar Al-Ghifari Ammar bin Yasir Huzaidah bin Al-Yaman Niqdah bin Aswad Perkembangan Tasawuf pada Masa Tabiin Ulama-ulama sufi dari kalangan tabiin, adalah murid dari ulama-ulama sufi dari kalangan sahabat.[11] Ada beberapa tokoh-tokoh ulama sufi tabiin antar lain Al-Hasan Al-Bashri 22-110 H Rabi’ah Al-Adawiyah W. 105 H Sufyan bin Said Ats-Tsaury 97-161 H Daun Ath-Thaiy W. 165 H Syaqieq Al-Bakhiy W. 194 H Pada abad pertama Hijriyah, Ulama-ulama tasawuf hanya berada di beberapa kota yang tidak jauh dari madinah. Tetapi di abad kedua Hijriyah, ulama-ulama sudah menyebar di wilayah kekuasaan islam. Ciri lain yang terdapat pada perkembangan tasawuf di abad pertama dan kedua Hijriyah adalah kemurniannya dibandingkan dengan tasawuf di abad-abad sesudanya. Fase kedua Abad ke 3-4 H/ 9-10 M Fase kedua ini diawali dengan masa peralihan’ di mana para asketis sudah tidak lagi dikenal sebagai asketis tapi lebih dikenal sebagai sufi karena sudah sedikit ditandai perilaku tasawuf.[12] Perkembangan Tasawf pada Abad Ketiga Pada abad ini, terlihat perkembangan tasawuf yang pesat, ditandai dengan adanya segolongan ahli tasawuf yang mencoba memiliki inti ajaran tasawuf yang berkembang di masa itu.[13] Sehingga mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa Tasawuf yang berintikan ilmu akhlak Tasawuf yang berintikan metafisika[14] Sedangkan tokoh-tokoh sufi yang terkenal abad ini; antara lain Abu Sulaiman Ad-Darany W. 215 H Ahmad bin Al-Hawary Ad-Damasqiy W. 230 H Abul Faidh Dzun Nun bin Ibrahim Al-Mishriy W. 245 H Abu Yazid Al-Bushthamy W. 261 H/874 M Junaid Al-Baghdady W. 298 H Al-Hallaj lahir 244 H/858 M Di akhir abad ketiga hijriyah ini, mulai timbul perkembangan baru dalam sejarah tasawuf, yang ditandai dengan bermunculannya lembaga pendidikan dan pengajaran, yang di dalamnya terdapat kegiatan pengajaran tasawuf dan latihan-latihan rohaniyah. Perkembangan Tasawuf pada Abad Keempat Pada abad ini, ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan kemajuan di abad ketiga hijriyah karena usaha maksimal ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawuf masing-masing.[15] Sehingga kota Baghdad yamg hanya satu-satunya kota yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar sebelum masa itu, tersaing oleh kota-kota besar lainnya. Upaya untuk mengembangkan ajaran tasawuf di luar kota Baghdad, dipelopori oleh beberapa ulama yamg terkenal kealimannya, antara lain Musa Al-Anshary, mengajarkan ilmu tasawuf di Khurasan Persia atau Iran, dan wafat di sana tahun 320 H. Abu Hamid bin Muhammad Ar-Rubazy, mengajarkannya di salah satu kota di Mesir, dan wafat di sana tahun 322 H Abu Zaid Al-Adamy, mengajarkannya di semannjung Arabiyah, dan wafat di sana tahun 314 H Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahab As-Saqafy, mengajarkannya di Nasaibur dan kota Syaraz, sehingga beliau wafat tahun 328 H Perkembangan tasawuf di berbagai negeri dan kota, tidak mengurangi perkembangan tasawuf di kota Baghdad.[16] Fase ketiga Abad 5 H/6 M Pada abad kelima ini aliran tasawuf kelompok kedua yang dikembangkan oleh Abu Yazid Al-Busthamy dan Husain bin Mansur Al-Hallaj pada abad ketiga dan keempat H mulai tenggelam dan mulai muncul kembali dalam bentuk lain. Pada abad inilah terlihat tanda-tanda semakin dekatnya corak tasawuf dengan ajaran tasawuf yang di amalkan pada abad pertama Hijriyah. Tetapi pada abad sesudahnya, kembali terlihat ada tanda-tanda yang menjurus kepada perbedaan pendapat ahli tasawuf dengan fuqaha beserta mutakallimin, karena corak tasawuf falsafi yang telah diamalkan pada abad ketiga dan keempat Hijriyah kembali muncul di kalangan umat Isalm.[17] Fase Keempat Abad 6 H Pada fase ini, tasawuf yang dikembangkan pada abad ketiga dan keempat dan pernah tenggelam pada abad kelima Hijriyah, muncul kembali dan lebih dikembangkan para sufi dan juga filosof. Tasawuf ini kemudian dikenal dengan tasawuf falsafi yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Berbeda dengan tasawuf sunni, tasawuf falsafi menggunakan terminologi folosofis dalam pengungkapannya.[18] Perkembangan tasawuf pada abad keenam Hijriyah banyak ulama tasawuf yang berpengaruh dalam perkembangan taasawuf abad ini antara lain Syihabuddin Abul Futu As-Suhrawardy W. 587 H/1191 M. Ia mulai belajar filsafat dan ushul fiqh pada Asy-Syekh Al-Imam Majdudin Al-Jily di Aleppo, bahkan sebagian besar ulama dari berbagai disiplin ilmu agama di negeri itu, telah dikunjunginya untuk menimba ilmu pengetahuan dari mereka.[19] Manfaat Tasawuf Tasawuf adalah suatu kehidupan rohani yang merupakan fitrah manusia dengan tujuan untuk mencapai hakikat yang tinggi, berada dekat atau sedekat mungkin dengan Allah dengan jalan mensucikan jiwanya, dengan melepaskan jiwanya dari kungkungan jasadnya yang menyadarkan hanya pada kehidupan kebendaan, di samping juga melepaskan jiwanya dari noda-noda sifat dan perbuatan yang tercela. Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna yang penuh kesadaran, bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan.[20] Semua sufi berpendapat bahwa untuk mencapai tujuan dekat atau berada di hadirat Allah, satu-satunya jalan hanyalah dengan “kesucian jiwa”. Kehidupan yang kekal adalah kehidupan di akhirat nanti yang kebahagiaannya amat tergantung pada selamatnya rohani dari perbuatan dosa dan pelanggaran. Untuk mewujudkan rohani yang sehat termasuk salah satu tugas tasawuf yang utama. Kebahagiaan yang hakiki dalam kehidupan di dunia ini sebenarnya terletak pada adanya ketenangan batin yang dihasilkan dari kepercayaan dan ketundukan pada Tuhan. Pada saat seseorang usianya sudah lanjut yang ditandai dengan melemahnya fisik, kurang berfungsinya pencernaaan dan pancaindera, saat seperti ini manusia tidak ada jalan lain kecuali dengan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, tempat ia harus mempertanggungawabkan amalnya.[21] Dalam rangka mensucikan jiwa demi tercapainya kesempurnaan dan kebahagiaan hidup, maka di perlukan suatu riyadah latihan dari satu tahap ke tahap lain yang lebih tinggi. Jadi untuk mencapai kesempurnaan rohani tidaklah dapat dicapai secara sepontan dan sekaligus.[22] KESIMPULAN Sebenarnya kehidupan sufi sudah terdapat pada diri Nabi Muhammad Saw. Dimana dalam sebuah kehidupan beliau sehari-hari terkesan amat sederhana dan menderita, disamping menghabiskan waktunya untuk beribadah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Para sahabat juga mencontohi kehidupan Rasulullah yang serba sederhana, di mana hidupnya hanya semata-mata diabdikan kepada tuhanya. Pada abad pertama Hijriyah, Ulama-ulama tasawuf hanya berada di beberapa kota yang tidak jauh dari madinah. Tetapi di abad kedua Hijriyah, ulama-ulama sudah menyebar di wilayah kekuasaan islam. tasawuf yang dikembangkan pada abad ketiga dan keempat dan pernah tenggelam pada abad kelima Hijriyah, muncul kembali dan lebih dikembangkan para sufi dan juga filosof. Tasawuf ini kemudian dikenal dengan tasawuf falsafi yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Berbeda dengan tasawuf sunni, tasawuf falsafi menggunakan terminologi folosofis dalam pengungkapannya. Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna yang penuh kesadaran, bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Semua sufi berpendapat bahwa untuk mencapai tujuan dekat atau berada di hadirat Allah, satu-satunya jalan hanyalah dengan “kesucian jiwa”. Dalam rangka mensucikan jiwa demi tercapainya kesempurnaan dan kebahagiaan hidup, maka di perlukan suatu riyadah latihan dari satu tahap ke tahap lain yang lebih tinggi. Jadi untuk mencapai kesempurnaan rohani tidaklah dapat dicapai secara sepontan dan sekaligus. DAFTAR PUSTAKA Mustofa, A, Ahklak Tasawuf, Bandung CV Pustaka Setia, 2014. Cet. Ke 6. Nasution, dan Rayani, Akhlak Tasawuf Pengenalan, Pemahaman dan pengaplikasiannya, Jakarta PT RajaGrafindo Persada, 2013. Cet. Ke 1. Nata, Abuddin, Akhlak Taswuf, Jakarta PT RajaGrafindo Persada, 2012. Cet. Ke 2. Umar, Nasaruddin, Tasawuf Modern, Jakarta Repiblika Penerbit, 2014. Cet. Ke 1. Zuhri, Amat, Imu Tasawuf, Yogyakarta STAIN Press Pekalongan, 2010. Cet. Ke 4. [1] Ahmad Bangun Nasution & Rayani Hanum siregar, Akhlak Tasawuf Pengenalan, Pemahaman, dan pengaplikasiannya Jakarta PT Rajagrafindo Persada, 2013, hlm. 3 [2] A mustofa, Ahklak Tasawuf, cet . VI Bandung CV Pustaka Setia, 2014, hlm. 201 [3] Ibid, hlm. 202 [4] Ahmad Bangun Nasution, Ibid, hlm. 3 [5] A mustofa, Ibid, hlm 203 [6] Ibid, hlm. 204 [7] Ibid, hlm. 205 [8] Ahmad Bangun Nasution, Ibid, hlm. 3 [9] Ibid, hlm. 17 [10] Ibid, hlm. 17 [11] A mustofa, Ibid, hlm. 214 [12] Amat zuhri, Ilmu Tasawuf Yogyakarta STAINPRESS Pekalongan, 2010 hlm. 22 [13] Ahmad Bangun Nasution & Rayani Hanum siregar, Akhlak Tasawuf Pengenalan, Pemahaman, dan pengaplikasiannya Jakarta PT Rajagrafindo Persada, 2013, hlm. 22 [14] A mustofa, Ahklak Tasawuf, cet . VI Bandung CV Pustaka Setia, 2014, hlm. 220 [15] Ahmad Bangun Nasution & Rayani Hanum siregar, Akhlak Tasawuf Pengenalan, Pemahaman, dan pengaplikasiannya Jakarta PT Rajagrafindo Persada, 2013, hlm. 22 [16] A mustofa, Ahklak Tasawuf, cet . VI Bandung CV Pustaka Setia, 2014, hlm. 225 [17] Amat zuhri, Ilmu Tasawuf Yogyakarta STAINPRESS Pekalongan, 2010 hlm. 24 [18]Ibid, hlm. 26 [19] Ahmad Bangun Nasutin, Ibid, hlm. 23 [20] A mustofa, Ahklak Tasawuf, cet . VI Bandung CV Pustaka Setia, 2014, hlm. 206 [21] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta PT RajaGrafindo Persada, 2012, hlm. 191 [22]A mustofa, Ahklak Tasawuf, cet . VI Bandung CV Pustaka Setia, 2014, hlm. 207
Perkembangantasawuf pada abad keenam hijriyah banyak ulama tasawuf yang sangat berpengaruh dalam perkembangan tasawuf abad ini antara lain, Syihabuddin Abul Futu As-Suhrawardy wafat tahun 587 H/ 1191 M. Ia mula-mula belajar Filsafat dan Ushul Fiqh pada Asy-Syekh Al-Imam Majdudin Al-Jily di Aleppo, bahkan sebagian besar ulama dari berbagai disiplin ilmu agama di negri itu, telah dikunjunginya
PENDAHULUAN Dewasa ini, kajian tentang tasawuf semakin banyak diminati orang sebagai buktinya adalah misalnya, semakin banyaknya buku yang membahas tasawuf di sejumlah perpustakaan, di negara-negara yang berpenduduk muslim, juga Negara-negara Barat sekalipun yang mayoritas masyarakatnya non muslim, ini dapat menjadi salah satu alasan betapa tingginya ketertarikannya mereka terhadap tasawuf. Adapun yang dimaksud dengan Ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma'rifat menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah Swt dan mengikuti syari'at Rasulullah saw. Dalam mendekatkan diri dan mencapai riḍha-Nya. 1 Tasawuf sendiri adalah upaya untuk membebaskan diri dari sifat-sifat kemanusiaan demi meraih sifat-sifat malaikat dan akhlak ilahi, serta menjalani hidup pada poros ma'rifatullah dan maḥabbatullah sembari menikmati kenikmatan spiritual. Sedang sebuah ungkapan yang disematkan kepada para ahli tasawuf disebut sufi. 2 Tujuan para sufi adalah ma'rifatullah yang dalam perjalanannya melalui beberapa tahap seperti syariat, ṭarῑqah, hakekat dan ma'rifat. Ma'rifat adalah tujuan akhir dari tasawwuf, yang mana didikannya pun berpindah dari hakekat ke ma'rifat yaitu mengenal Tuhan sebaik-baiknya. 3 Sufisme atau orang-orang yang tertarik pada pengetahuan sebelah dalam, orang-orang yang berupaya mencari jalan atau praktik amalan yang dapat mengantarkannya pada kesadaran dan pencerahan hati adalah orang-orang yang mengikuti jalan penjernihan diri, penyucian hati dan meningkatkan kualitas karakter dan perilaku mereka agar mencapai tahapan maqam orang-orang yang menyembah Allah seolah-olah mereka melihat-Nya dan jikalau tidak Dia selalu melihat mereka. 4 Dari penjelasan di atas, maka tingkat ketertarikan mereka tidak dapat diklaim sebagai sebuah penerimaan bulat-bulat terhadap tasawuf, jika diteliti lebih mendalam, ketertarikan 1
Sejakpertama kali menginjakkan kaki di tanah spanyol dan jatuhnya kerajaan islam terakhir di sana, islam memainkan peranan yang sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah abad, dari tahun 711 M hingga 1492 M. Rentang waktu yang panjang tersebut telah berpengaruh pada proses kemajuan ilmu pengetahuan di dunia barat.
Sufism comes from the word suffah. Suffah is a term or term for people who live a simple life, and can be said to be poor which is far from glamorous. These were friends of the Prophet who had migrated and lived around the Medina mosque. Sufism comes from the word shuf. Shuf means wool yarn. Mention for people who use coarse wool or sheep's clothing. Unlike wool now, it was used by most poor people. While the rich people in the past usually used clothes made of silk. Sufism comes from the word Shafa 'which means, people who purify their hearts to draw closer to Allah. This is what Samsul Munir Amin said in his book entitled The Knowledge of Sufism. Whereas according to the terms of Sufism is, how to purify the soul and heart of all forms of hustle and bustle and fill it with love for God. This is intended to get closer as close as God. Sufism itself appeared at the time of Tabi'in in the second century. Then in the following centuries, the III and IV centuries later emerged in Sufism. This article discusses Sufism starting from the foundation and motivation of the birth of Sufism, the history of the development of Sufism and its phases, types of Sufism, and the benefits of Sufism in the world of Islamic education. Keywords Sufism and suffah, the world of Islamic education A. PENDAHULUAN Timbulnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan kelahiran agama islam itu sendiri, yaitu semenjak Muhammad SAW diutus Rasulullah untuk segenap ummat manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannuts dan khalwat di Gua Hira disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan. Juga Muhammad berusaha mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa noda-noda yang menghingapi masyarakat pada waktu itu. Muhammad Fauqi H, 2013 7. Tahannuts dan khalwat yang dilakukan Muhammad SAW bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh liku-liku problema hidup yang beraneka ragam ini, berusaha memperoleh petunjuk dan hidayah dari pencipta alam semesta ini, mencari hakikat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik. Dalam situasi yang sedemikianlah Muhammad Menerima wahyu dari Allah SWT yang penuh berisi ajaran-ajaran dan peraturan-peraturan sebagai pedoman untuk ummat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup didunia dan akhirat. Segala pola dan tingkah laku, amal perbuatan dan sifat Muhammad sebelum diangkat menjadi menjadi Rasul meruapakan manifestasi dari Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1 SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF DARI ZAMAN KE ZAMAN Oleh Rumzil Azizah, Email azizahrumzil Rosidi, Email rosidi ABSTRACT Sufism comes from the word suffah. Suffah is a term or term for people who live a simple life, and can be said to be poor which is far from glamorous. These were friends of the Prophet who had migrated and lived around the Medina mosque. Sufism comes from the word shuf. Shuf means wool yarn. Mention for people who use coarse wool or sheep's clothing. Unlike wool now, it was used by most poor people. While the rich people in the past usually used clothes made of silk. Sufism comes from the word Shafa 'which means, people who purify their hearts to draw closer to Allah. This is what Samsul Munir Amin said in his book entitled The Knowledge of Sufism. Whereas according to the terms of Sufism is, how to purify the soul and heart of all forms of hustle and bustle and fill it with love for God. This is intended to get closer as close as God. Sufism itself appeared at the time of Tabi'in in the second century. Then in the following centuries, the III and IV centuries later emerged in Sufism. This article discusses Sufism starting from the foundation and motivation of the birth of Sufism, the history of the development of Sufism and its phases, types of Sufism, and the benefits of Sufism in the world of Islamic education. Keywords Sufism and suffah, the world of Islamic education A. PENDAHULUAN Timbulnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan kelahiran agama islam itu sendiri, yaitu semenjak Muhammad SAW diutus Rasulullah untuk segenap ummat manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannuts dan khalwat di Gua Hira disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan. Juga Muhammad berusaha mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa noda-noda yang menghingapi masyarakat pada waktu itu. Muhammad Fauqi H, 2013 7 . Tahannuts dan khalwat yang dilakukan Muhammad SAW bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh liku-liku problema hidup yang beraneka ragam ini, berusaha memperoleh petunjuk dan hidayah dari pencipta alam semesta ini, mencari hakikat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik. Dalam situasi yang sedemikianlah Muhammad Menerima wahyu dari Allah SWT yang penuh berisi ajaran-ajaran dan peraturan-peraturan sebagai pedoman untuk ummat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup didunia dan akhirat. Segala pola dan tingkah laku, amal perbuatan dan sifat Muhammad sebelum diangkat menjadi menjadi Rasul meruapakan manifestasi dari 2 kebersaihan hati dan kesucian jiwanya yang sudah menjadi pembawaan sejak kecil. Dengan turunnya wahyu yang pertama pada tanggal 17 Ramadhan atau 16 Agustus 571 M, berarti nabi Muhammad SAW telah diangkat dan diutus menjadi Rasul untuk mengembangkan amanat Allah dan menyelamatkan ummat manusia dari lembah kejahilan dan kesesatan dalam mencapai kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Demikian juga wahyu yang diturunkan itu Rasulullah dapat membenahi masyarakat Arab Jahiliyah menjadi masyarakat yang maju sesuai dengan perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia. Adapun tentang sumber-sumber yang menjadi landasan tasawuf Islam itu terdapat bermacam-macam pendapat. Diantaranya ada yang menyatakan bahwa sumber tasawuf islam adalah dari ajaran Islam itu sendiri. Selain itu pula ada yang berpendapat bahwa sumber tasawuf itu berasal dari persia, Hindu Nasrani dan sebagainya. Syamsun Ni'am, 2014 122. Orientalis Messignon dalam “Encyclopedie de Islam” berkata tentang sumber tasawuf bahwa ”ulama-ulama Islam masih bersimpang siur dalam memecahkan dan mencari sebab-sebab terjadinya perselisihan besar dalam bidang Aqidah islam diantara pelbagai mazhab didalam Islam, yaitu antara mazhab tasawuf dan mazhab ahli Sunnah wal-Jama`ah”. Menurut penadapat merx ”Tasawuf merupakan aliran yang datang kedalam islam yang berasal dari pendeta-pendeta Syam. Menurut Jones, tasawuf islam itu berasal dari Filsafat Neo Platonisme atau berasal dari agama Zoroaster Persia atau agama Hindu. Tentang tasawuf Islam itu berorientasi Nicholson menjelaskan sebagai berikut “Menetapkan tasawuf Islam merupakan import ke dalam Islam, tidaklah dapat diterima, yang sebenarnya ialah kita melihat sejak lahir agama Islam, bahwa bibit berfikir seperti dasar-dasar tasawuf itu ada yang telah tumbuh didalam hati setiap keluarga Jama`ah Islam yaitu sewaktu orang islam itu sedang membaca Al-Qur`an dan Hadist Nabinya”. Harun Nasution,199058. Dari pendapat-pendapat tersebut diatas jelas adanya perbedaan pandangan tentang sumber tasawuf Islam itu, namun demikian dapat dinyatakan bahwa para orientalisten yang kurang jujur berpendapat bahwa tasawuf Islam itu berpendapat bahwa islam itu sendiri sudah ada benih-benih untuk tumbuh dan berkembang sesudah disemaikan didalam lubuk hati setiap muslim, karena tidak dapat dipungkiri lagi ajaran yang menyatakan bahwa Islam itu tinggi dan tidak ada yang dapat mengatasinya,” dengan pengertian lain dapat ditegaskan bahwa kemurnian ajaran islam itu benar-benar mengandung nilai-nilai kerohanian yang menjadi sumber akhlak bagi setiap muslim, terutama bagi para sufi yang senantiasa berusaha membersihkan hati dan mensucikan jiwa mereka dan berhias dengan perangkai terpuji serta menjauhkan diri dari perangai tercela. Harun Nasution,199058. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa sumber dan landasan tasawuf islam itu sendiri, tetapi dalam perkembangan selanjutnya mendapat pengaruh dari luar islam. Tasawuf Islam itu dalam perkembangannya mempunyai unsur-unsur yang jauh. Unsur yang dekat dan unsur-unsur yang jauh. Unsur yang dekat ialah Al-Quran, Hadist, Sirah Nabi, Sirah Khulafaurrasyidin, Struktur 3 Sosial dan Firqah-firqah sedangkan unsur jauh ialah pengaruh agama Nasrani, yahudi, budha dan Persia. B. PEMBAHASAN 1. Sejarah perkembangan tasawuf dan fase-fasenya Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase, yaitu Pada abad pertama dan kedua hijriah, yaitu fase asketisme zuhud. Sikap ini banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini terdapat individu-individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah dan tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Muhammad Fauqi H , 2013 17. Tahap pertama, tasawuf masih berupa zuhud dalam pengertian yang masih sangat sederhana. Yaitu, ketika pada abad ke-1 dan ke-2 H, sekelompok kaum Muslim memusnahkan perhatian memprioritaskan hidupnya hanya pada pelaksanaan ibadah untuk mengejar keuntungan akhirat Mereka adalah, antara lain Al-hasan Al-Basri w. 110 H dan Rabi`ah Al-Adawwiyah H kehidupan “model” zuhud kemudian berkembang pada abad ke-3 H ketika kaum sufi mulai memperhatikan aspek-aspek teoritis psikologis dalam rangka pembentukan prilaku hingga tasawuf menjadi sebuah ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan luas dalam bidang akhlak mendorong lahirnya pendalaman studi psikologis dan gejala-gejala kejiwaan yang lahir selanjutnya terlibat dalam masalah-masalah ini berkaitan langsung dengan pembahasan mengenai hubungan manusia dengan Allah SWT. Sehingga lahir konsepsi-konsepsi seperti Fana`, terutama Abu Yazid Al-Busthami w. 261 H Dengan demikian, suatu ilmu khusus telah berkembang dikalangan kaum sufi, yang berbeda dengan ilmu fiqh, baik dari segi objek, metodologi, tujuan, maupun istilah-istilah keilmuan yang digunakan. Lahir pula tulisan-tulisan antara lain Al-Risalah Al-Qusyairiyyah karya Khusairi dan `Awarif Al-Ma`arif karya Al-Suhrawardi Al-baghdadi. Tasawuf kemudian menjadi sebuah ilmu setelah sebelumnya hanya merupakan ibadah-ibadah praktis. Pada abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Pada masa ini tasawuf identik dengan akhlak berkembang ± satu abad. Pada abada ketiga hijriah, muncul jenis – jenis tasawuf lain yang lebih menonjolkan pemikiran yang eksekutif yang diwakili oleh AL-Hallaj yang kemudian dihukum mati karena menyatakan pendapatnya mengenai hulul pada 309 H. Boleh jadi Al-Hallaj mengalami peristiwa naas seperti ini karena paham hululnya ketika itu sangat kontraversional dengan kenyataan di masyarakat yang tengah mengandrungi tasawuf akhlaqi. Samsul Munir Amin, 2015 209. Dari sisi lain, pada abad ke-3 dan ke-4 muncul tokoh-tokoh tasawuf seperti Al-Juanid dan Sari Al-Saqathi serta Al-Kharraz yang memberikan pengajaran dan pendidikan kepada para murid dalam sebuah bentuk jamaah. Untuk pertama kali dalam islam terbentuk tarekat yang kala itu merupakan semacam lembaga pendidikan yang memberikan berbagai pengajaran teori dan praktik kehidupan sufisfik, kepada para murid dan orang- 4 orang yang berhasrat memasuki dunia tasawuf. Demikian juga ajaran tasawuf al-Suhrawardi, pendiri mazhab isyraqiyyah yang memaklumkan dirinya sebagai seorang nabi yang menerima limpahan nur Illahi dan berakhir dengan fatwa ulama bahwa dia adalah seorang kafir yang halal darahnya. Lalu dia digantung di Aleppo pada tahun 587 H dalam usia 38 Tahun. Demikian pula halnya dengan Ibn Sab`in yang telah mengambil jalan pintas dengan membunuh diri karena serangan para ulama yang sangat gencar terhadap ajaran tasawuf yang diajarinya. Tidak sedikit pila para ulama yang membantah ajaran tasawuf Ibn Arabi yang mengajar paham pantheisme bahwa Tuhan dan alam merupakan suatu kesatuan yang dipisahkan. Perbedaannya hanya pada nama, sedangkan pada hakikat adalah satu. Dengan banyaknya ajaran yang menyimpang dari syari`at, maka ilmu tasawuf pada akhirnya mengalami kemunduran yang luar biasa sehingga berakhir dengan kehilangan peranannya dalam ilmu-ilmu Islam dan telah berubah wujudnya dalam bentuk pengalaman tarikat yang tidak membawa sesuatu yang baru dalam ajaran kerohanian Islam selain dari pengagungan para guru atau mursyid serta warisan ajaran yang mereka terima. Pada abad ke-5 H Imam Al-Ghazali tampil menentang jenis-jenis tasawuf yang dianggapnya tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah dalam sebuah upaya menegmbalikan tasawuf kepada status semula sebagai jalan hidup zuhud, pendidikan jiwa pembentukan moral. Pemikiran-pemikiran yang diperkenalkan Al-Ghazali dalam bidang tasawuf dan makrifat sedemikian mendalam dan belum pernah dikenal sebelumya. Dia mengajukan kritik-kritik tajam terhadap berbagai aliran filsafat, pemikiran-pemikiran Mu`tazilah dan kepercayaan bathiniyah untuk menancapkan dasar-dasar yang kukuh bagi tasawuf yang lebih Moderat dan sesuai dengan garis pemikiran teologis Ahl Al-Sunnah wal Jama`ah. Samsul Munir Amin, 2015 233. Dalam orientasi umum dan rincian-rinciannya yang dikembangkannya berbeda dengan konsepsi disebut tasawuf Sunni. Al-Ghazali menegaskan dalam Al-Munqidz min Al-Dhalal, sebagai berikut pertama, Sejak tampilnya Al-Ghazali ,pengaruh tasawuf Sunni mulai menyebar di Dunia Islam. Bahkan muncul tokoh-tokoh Sufi terkemuka yang membentuk tarekat untuk mendidik para murid, seperti Syaikh Akhmad Al-Rifa`I H dan Syaikh Abd. Al-Qadir Al-jailani w. 651 H yang sangat terpengaruh oleh garis tasawuf Al-Ghazali pilihan yang sama dilakukan generasi berikut, antara lain yang paling menonjol adalah, Syaikh Abu Al-Hasan Al-Syadzili H dan muridnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi H, serta Ibn Atha`illah Al-sakandari w. 709 H. model tasawuf yang mereka kembangkan ini adalah kesinambungan tasawuf Al-Ghazali; Kedua, Pada abad ke enam hijriah , sebagai akibat pengaruh kepribadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf sunni semakin meluas ke seluruh pelosok abad ke enam Hijriah,muncul sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah . diantara mereka terdapat Syukhrawardi AL-Maqtul h, syeikh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi h dan sebagainya. 5 2. Macam- macam tasawuf Jenis tasawuf menurut perkembangannya zaman ke zaman terbagi menjadi dua, yakni a. Tasawuf sunni Tasawuf Akhlaqi disebut juga Tasawuf Sunni. Tasawuf ini menitik beratkan pada perbaikan akhlak atau moral pada diri seseorang. Orientasinya adalah untuk mencari hakikat kebenaran yang dapat mengantarkan manusia untuk mencapai tingkatan ma’rifat. Ma’rifat adalah bersatunya manusia dengan Allah dengan metode tertentu yang telah ditetapkan. Tasawuf akhlaqi ini juga banyak dikembangkan oleh para Ulama Salafussalih. Samsul Munir Amin, 2015 2. “Dan jiwa serta penyempurnaannya ciptaannya, Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaannya”. QS Asy Syams 7-8 Dari ayat di atas dijelaskan bahwa manusia memiliki potensi untuk berbuat baik dan potensi berbuat buruk. Potensi untuk berbuat baik adalah Al Aql dan Al Qalb. Potensi untuk berbuat baik disebut dengan Nafsu yang dibantu dibisikkan keburukannya oleh Setan yang tiada henti menggoda manusia. Menurut para sufi, untuk masuk kepada tasawuf tentu membutukan mental dan juga aspek lahiriah yang siap. Pada awal memasuki tasawuf, maka seseorang harus berkonsentrasi agar dapat menghindarkan diri dari akhlak buruk atau tercela mazmumah dan terus konsisten mewujudkan akhlak yang baik yaitu mahmudah. Samsul Munir Amin, 2015 332. Ajaran ini, menurut para sufi, melatih manusia untuk dapat menguasai hawa nafsu, menekan hawa nafsu bagkan sampai pada mematikan hawa nafsu jika memungkinkan. Tentu saja membutuhkan pelatihan dan pembiasaan yang ketat. Para Sufi yang mengembangkan ajaran tasawuf ini diantaranya adalah Hasan al-Basri 21 H – 110 H, Al-Muhasibi 165 H – 243 H, Al-Qusyairi 376 H – 465 H, Syaikh al-Islam Sultan al-Aulia Abdul Qadir al-Jilani 470 – 561 H, Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Gajali 450 H – 505 H, Ibnu Atoilah As-Sakandari. Samsul Munir Amin, 2015 141. Pelaksanaan ajaran tasawuf tentu saja tidak bisa dilakukan hanya satu atau dua kali untuk mencapai proses tertinggi, yaitu tujuan mendapatkan ma’rifat. Proses ini dilakukan agar akhlak baik atau mahmudah selalu melekat kepada manusia. Akhlak tercela dan buruk lainnya akan hilang dan tidak mengusik atau mengganggu jiwa manusia yang suci. Jiwa yang buruk atau dipenuhi akhlak tercela tentu akan memudahkan nafsu manusia semakin banyak mendorong untuk melakukan hal hal yang buruk. Untuk itu, kesucian jiwa harus dipenuhi dan terus dipupuk. Berikut adalah proses atau langkah untuk mendapatkan tujuan dari tasawuf akhlaqi. Takhali adalah proses awal yang dilakukan oleh sufi. Aktivitas Takhali ini adalah usaha untuk mengosongkan diri manusia dari perilaku yang tercela. Salah satu akhlak tercela yang disoroti oleh tasawuf adalah 6 kecintaan manusia yang berlebihan terhadap urusan duniawi, hingga melalaikan pada kesucian jiwa dan kesiapan untuk kembali kepada Allah. Takhalli berbeda dengan Tahalli. M. Hamdani Bakran adz-Dzaky, 2002 259. Tahalli adalah proses untuk mengisi dan menghiasi diri manusia dengan pembiasaan perilaku dan akhlak yang baik. Proses ini dilakukan oleh para sufi dengan mengosongkan jiwanya dari segala akhlak yang buruk. Mereka menjalankan ketentuan agama dengan mengintegrasikan ke dalam dan keluar dirinya. Aspek luar adalah kewajiban seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Sedangkan, untuk yang bersifat ke dalam adalah keimanan, keaatan, dan kecintaan kepada Allah. Mustafa Zahri, 1998 82. Tajalli adalah proses pemantaapan dan pendalaman materi yang sudah dilalui pada proses tahalli. Tajalli berarti terungkapnya nur ghaib. Proses ini adalah memantapkan dan membuat akhlak-akhlak baik tersebut tetap ada dalam jiwa. Untuk itu, pada proses ini benar-benar menumbuhkan kecintaan dan kerinduan yang mendalam pada Allah SWT. Praktis tasawuf ini tentu saja perlu diperhatikan agar tetap mampu menjawab masalah utama manusia yaitu yang berkenaan dengan Tujuan Penciptaan Manusia , Proses Penciptaan Manusia , Hakikat Penciptaan Manusia , Konsep Manusia dalam Islam, dan Hakikat Manusia Menurut Islam sesuai dengan fungsi agama yang terdapat dalam Al-Quran. Mustafa Zahri, 1998 245. b. Tasawuf irfani Secara etimologis, kata Irfan merupakan kata jadian mashdar dari kata arafa’ mengenal/pengenalan. Secara terminologis, irfan diindentikkan dengan ma’rifat sufistik. Ahli irfan adalah orang yang berma’rifat kepada Allah. Irfan diperoleh seseorang melalui jalan al-idrak al- mubasyir al wujudani penagkapan langsung secara emosional, bukan penangkapan secara rasional. Sebagai sebuah ilmu, irfan memiliki dua aspek, yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek praktisnya adalah bagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggung jawaban manusia terhadap dirinya, dunia, dan Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian ini menyerupai etika. Bagian praktis ini disebut sayr wa suluk perjalanan rohani. Bagian ini menjelaskan bagaimana seseorang penempuh rohani salik yang ingin mencapai tujan puncak kemanusiaan, yakni tauhid, harus mengawali perjalanan, menempuh tahapan-tahapan maqam perjalanannya secara berurutan, dan keadaan jiwa hal yang bakal dialaminya sepanjang perjalanannya tersebut. Samsul Munir Amin, 2015 241 Sementara itu, irfan teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud ontologi, mendiskusikan manusia, Tuhan serta alam semesta. Dengan sendirinya, bagian ini menyerupai teosofi falsafah ilahi yang juga memberikan penjelasan tentang wujud. Seperti halnya filsafat, bagian ini mendefinisikan berbagai prinsip dan problemanya. Namun, jika filsafat hanya mendasarkan argumennya pada prinsip-prinsip rasional, irfan mendasarkan diri pada ketersibukan mistik yang kemudian 7 diterjemahkan ke dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya. Samsul Munir Amin, 2015 241 Tokoh-tokoh tasawuf irfani adalah Rabi’ah adalah Rabi’ah binti Ismail Al Adawiyah AL Bashriyah Al Qaisiyah. Dalam perkembangan mistisme Islam, Rabi’ah Al Adawiyah tercatat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Rabi’ah Al Adawiyah adalah wanita satu-satunya dalam Islam yg terkenal kesufiannya. Sebagaimana dikutip oleh Eko Ariwidodo, menyatakan bahwa Posisi wanita akan selalu ada di bawah kedudukan laki- laki. “Kaum wanita tidak dapat diberi kedudukan yang tinggi, karena tidak tahu bagaimana mengambil keputusan yang sulit’’. Eko Ariwidodo, 2016 333. Tidak sulit bagi Rabi’ah Al-Adawiyah mengembangkan khazanah keilmu agamaannya mencapai tingkat mahabbah. Menguraikan secara feministik rasa tulus ikhlas ke dalam cinta sebenar-benarnya kepada Allah. Melebihi dari para sufi lainnya yang notabene laki-laki. Sementara generasi sebelumnya merintis aliran astisketisme Islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah. Samsul Munir Amin, 2015 242. Abu al-Fayd Tauban bin Ibrahim bin Ibrahim bin Muhammad al-Anshari 772 -860 M yang dijuluki Sahib al-Hut pemilik ikan. Ia dikenal sebagai sufi yang mengembangkan teori tentang ma’rifat. Ma’rifat dalam terma sufistik memiliki pengertian yang berbeda dengan istilah ilm, yakni sesuatu yang bisa diperoleh melalui jalan usaha dan proses pembelajaran. Sedangkan ma’rifat dalam terma sufi lebih merujuk pada pengertian salah satu metode yang bisa ditempuh untuk mencapai tingkatan spiritual. Termasuk meyakini bahwa ma’rifat sebenarnya adalah puncak dari etika baik vertical maupun horizontal. Jadi, ma’rifat terkait erat dengan syari’at, sehingga ilmu batin tidak menyebabkan seseorang dapat membatalkan atau melecehkan kewajiban dari ilmu zahir yang juga dimuliakan oleh Allah. Demikian pula, dalam kehidupan sesama, seorang arif akan senantiasa mengedepankan sikap kelapangan hati dan kesabaran dibanding ketegasan dan keadilan. Ia membagi tingkatan ma’rifat yaitu ma’rifat al-tauhid, yakni doktrin bahwa seorang mu’min bisa mengenal Tuhannya karena memang demikian ajaran yang telah dia terima; ma’rifat al-hujjah wa al-bayan, yakni ma’rifat yang diperoleh melalui jalan argumentasi, nalar dan logika. Bentuk kongkritnya, mencari dalil atau argument penguat dengan akal sehingga diyakini adanya Tuhan. Tetapi, ma’rifat kaum teolog ini belum bisa merasakan lezatnya ma’rifat tersebut; ma’rifat sifat al-wahdaniyah wa al-fardhiyah, yakni ma’rifat kaum muqarrabin yang mencari Tuhannya dengan pedoman cinta. Sehingga yang diutamakan adalah ilham atau fadl limpahan karunia Allah atau kasyf ketersingkapan tabir antara Tuhan dengan manusia. Karena pada tingkatan ini, sebenarnya yang lebih berbicara adalah hati dan bukannya akal; 8 Abu Yazid Tahifur bin Isa dari Al-Bisthami dilahirkan pada tahun 188 H. di Bistham Khurasan, Persia. Dari berbagai riwayat diketahui bahwa Abu Yazid adalah seorang faqih, pengikut Abu Hanifah tetapi kehidupannya berubah dengan memasuki dunia tasawuf. Menurut Abu Yazid, Wali Allah itu ada tiga macam, seorang zahid karena zuhudnya, seorang Abid karena ibadahnya, dan seorang Alim karena ilmunya. Samsul Munir Amin, 2015 254. Abul Mubhist Al-Husain Bin Manshur Al-Khallaj di lahirkan di Baidha Persia pada tahun 244H/ Khallaj selalu hidup berpindah-pindah dalam pengembaraan yang panjang. Di dalam pengembaraan itu ia telah tinggal Tustur, Khurasan, Sijistan, Karman, Persia, Ahwaz, Basrah dan Baghdad. Al-Khallaj juga mengembara ke daerah Timur dimulai dari Turkistan, Mesir dan beberapa daerah di India. Selama dalam perjalanan ia mendapat gelaran yang bermacam-macam. Di Baghdad ia digelari dengan Al-Mushtalam, di Tukistan dengan Al-Mukiths, di India dengan Al-Mugihst dan sebagainya. Buku-buku karangannnya antara lain As-Sahaihur Fi Naqshid Duhur, Kaifa Kana Wakaifa Yakun, Al-Abad Wa Al-Mabud, Kitab Huwa-Huwa, Sirru Al-Alam Wa Al-Tauhid, Al-Thawasin Al-Azal. Kitab-kitab itu hanya tinggal catatan, karena ketika hukuman mati dilaksanakan, kitab yang ia karang pun ikut dimusnahkan, kecuali sebuah yang disimpan pendukungnya yaitu Ibnu Atha dengan judul Al-Thawasi Al-Azal. Dari kitab ini dan sumber-sumber muridnya dapat diketahui tentang ajaran-ajaran Al-Khallaj dalam tasawuf. c. Tasawuf falsafi Tasawuf Falsafi secara bahasa bisa kita bagi menjadi dua, yaitu antasa Tasawuf dan Filsafat. Tasawuf artinya kecintaan terhadap tuhan, sedangkan ilmu Filsafat Islamadalah yang berkenaan dengan akal atau fikiran. Falsafi disini adalah cara yang digunakan dalam bertasawuf. Samsul Munir Amin, 2015 264 Tasawuf Falsafi adalah sebuah aliran dalam bertasawuf yang menggabungkan antara visi mistik dan visi yang rasional. Tasawuf ini merupakan hasil dari pemikiran-peminkiran para tokoh-tokoh yang diungkapkan dengan bahasa ini tidak bisa dikatakan sebagai Tasawuf yang murni karena telah menggunakan pendekatan fikiran dan rasio, namun juga tidak bisa dikatakan filsafat seutuhnya karena didasarkan pada rasa. Dengan kata lain Tasawuf Falsafi merupakan penggabungan antara rasa dan rasio. Secara istilah dapat kita simpulkan bahwa pengertian dari Tasawuf Falsafi adalah, kajian terhadap tuhan, manusia dan sebagainya yang menggunakan motode rasio atau akal. Aliran dalam Tasawuf Falsafi terkesan tidak jelas, karena banyaknya istilah-istilah yang diungkapkan oleh tokoh-tokkohnya dalam aliran ini yang tidak bisa dimengerti, lantaran menggunakan istilah Filsafat. Tokoh-tokoh dalam Tasawuf Falsafi pada umumnya mengerti dan akrab dengan ilmu Filsafat. Mereka mempelajari Filsafat Barat, Yunani Kuno,dan Filsafat Islam, serta mengenal para filosof barat seperti, Socrates, 9 Aristoteles serta pemikiran-pemikiran filosof Islam seperti Al Farabi dan Ibnu Sina. Abdul Kadir Riyadi, 2014 199. Menurut Ibnu Khaldun dikutip dalam karyanya Al Ma’rifat, objek dari kajian Tasawuf Falsafi ini ada empat pertama, Latihan yang bersifat kebatinan atau rohaniyah dengan menggunakan rasa, intuisi dengan dan introspsesi diri dengan tingkatan maqam, hal dan rasa; kedua, Kajian tentang hakekat dari sifat-sifat tuhan, malaikat,arsy, kursy, wahyu, kenabian, roh, hakekat dari alam ghaib dan yang nyata serta susunan kosmos dan penciptaannya. Biasanya para filosoh dalam kajiannya dan latihan rohaniahnya melakukan zikir-zikir dengan meninggalkan keduniaan dan membuka kekhusukan terhadap Allah; ketiga, Peristiwa yang luar. Kejadian yang terdapat di alam ini atau kosmos, yang mempengaruhi kekeramatan; keempat, Pengungkapan teory dengan istilah yang filosofis. Istilah tersebut tidak bisa dipahami seutuhnya oleh masyarakat awam. Istilah Tasawuf Falsafi hanya bisa dimengerti oleh para tokoh Tasawuf Falsafi itu sendiri. Pada intinya, ciri dari Tasawuf Falsafi adalah mengabungan antara pemikiran atau rasionalitas dengan perasaan dzuq. Aliran ini mendasarkan pada dalil naqli dan diungkapkan dalam istilah filosofis. Achmad Mubarok, 2001 124. Tokoh-Tokoh Tasawuf Falsafi lainnya adalah Ibnu Arabi, Nama lengkap dari Ibnu Arabi yaitu Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath tha’I Al Haitami. Beliau dilahirkan di Murcia, daerah Andalusia tenggara, Spanyol. Pada tahun 560 H. Ia tinggal di Hijaz dan wafat di sana, pada tahun 638 H. karya Ibnu Arabi yang paling fenomenal adalah Al Futuhat Al Makiyah yang ditulis pada tahun 1201 H. Samsul Munir Amin, 2015 274. Ajaran dari Ibnu Arabi ada tiga Wahdad al wujud – Kesatuan Wujud. Intinya wujud dari semua makhluk itu adalah satu, yaitu wujud dari khaliqnya; Hakiqat Muhammadiyah – Lanjutan dari wahdad Al Wujud adalah Hakikat Muhammadiyah, yang menurut Ibnu Arabi, bahwa penciptaan alam semesta ini adalah pelimpahan dari wujud yang satu yaitu tuhan. Dari yang satu itu, Lalu lahirlah semua wujud dengan segala proses penciptaannya; Wahdad Al Adyan – Turunan ketiga dari Wahdatul Wujud adalah Wahdatul Adyan yaitu kesamaan agama. Semua agama itu adalah satu yang bersumber dari tuhan. Amin Syukur, 2002 7 Al Jilli, Nama lengkap Al Jilli adalah Abdul Karim bin Ibrahin Al- Jilli yang lahir tahun 1365 M dan wafat tahun 1417 M. Baliau lahir di Jilan propinsi di selatan Kaspi. Tempat lahirnya Jilli Gilan yang kemudian menjadi nama dari Al Jilli. Beliau adalah sufi yang terkenal di Bagdad. Ia pernah berguru pada tokoh tarekat Qadariyah yaitu Abdul Qadir Al Jailani, seorang sufi dari India. Ajaran dari Al Jilli adalah Insan Kamil – Pemahaman tentang insan kamil atau manusia sempurna sebagai wujud dari tuhan yang diumpamakan bagai cermin. Seseorang tidak bisa melihat dirinya sendiri kecuali dengan cermin; Maqamat – Al Jilli merumuskan tahapan atau tingkatan yang harus dilalui seorang sufi adalah Islam, Iman, Ihsan, Shalah, Shahadah, Sidqiyyah dan Qurbah. Samsul Munir Amin, 2015 281. 10 Ibnu Sab’in, Nama lengkap dari Ibnu Sab’in adalah Abdul Haq Ibnu Ibrahim Muhammad Ibnu Nashr. Beliau lahir tahun 614 H di Murcia. Ibnu Sabi’in adalah anak dari keluarga bangsawan, yang hidup berkecukupan. Namun beliau memilih untuk mengasingkan dari segala bentuk kemewahan tersebut. Beliau mempelajari ilmu-ilmu seperti Bahasa dan Sastra Arab, Ilmu Agama, Ilmu fiqih fiqih pernikahan, fiqih muamalah jual beli, Ilmu Filsafat dan Logika. Ajaran dari Ibnu Sab’in adalah Kesatuan mutlak – Kesatuan mutlak adalah ajaran pemahaman tentang wujud itu hanya satu yaitu wujud tuhan; Menolak paham Aristotelian – Intinya Ibnu Sab’in berusaha menyusun logika baru yang membantah adanya konsep jamak. Konsep ini disusun untuk mencapai kesatuan mutlak tadi. Menurut Ibnu Sab’in logika ini menggunakan penalaran ketuhanan atau ilahi. Pemikiran ini yang membuat manusia melihat dan mendengar sesuatu yang baru, yang belum pernah dilihat dan didengar sekalipun. Mustafa Zahri, 1998 82-89. 3. Manfaat tasawuf dalam dunia Islam Tasawuf memiliki banyak manfaat dalam kehidupan dan dunia islam, di bawah ini adalah 10 manfaat tasawuf yaitu Dalam bidang kecerdasan emosional, apabila dapat mengamalkan tasawuf dengan baik maka dapat mengendalikan emosionalnya dengan baik pula; Dalam bidang kecerdasan spiritual, tasawuf mengingatkan manusia tentang kemaitian, agar umat manusia selalu beribadah, beramal shaleh, serta menjauhi perbuatan maksiat dan kejahatan; Dalam bidang Agama, tasawuf ini sangat diperlukan agar umat islam bisa mengamalkan teori Islam secara kaffah dan juga untuk mengembangkan integrasi sosial dan kerukunan hidup dalam beragama serta bebangsa; Dalam bidang etos kerja, tasawuf dapat memperkuat etos kerja karena dalam ajaran Islam bekerja itu wajib untuk memenuhi keperluan diri sendiri, keluarga dan umat. Amin Syukur, 2002 7. Dalam bidang Pendidikan, tasawuf merupakan salah satu mata pelajaran yang perlu diajarkan di Madrasah dan mata kuliah di Perguruan Islam untuk mengembangkan kehidupan agama yang komprehensif dan utuh serta untuk mengembangkan masyarakat dan bangsa yang bersih, sehat dan maju; Dalam bidang Ilmu Pengetahuan, tasawuf mendidik anggota masyarakat untuk mengambil keputusan yang bijaksana dan rasional serta mendidik untuk memiliki tanggung jawab sosial; Sumber Pengingat, apa yang akan membantu kita terhadap hal ini adalah mengingat Allah bahwa Allah menjamin kita akan penyediaan, dan pengetahuan dan kekuatan-Nya sempurna, dan bahwa Dia terlepas dari penciptaan dan jauh dari kelupaan dan dari ketidakmampuan. Syaikh Ibn Ataillah menulis dalam bukunya The Abandonment of the Management of Affairs “Percayakan urusan kita kepada Allah juga merupakan kualitas yang sangat penting untuk diperoleh. Mustafa Zahri, 1998 82-89. Landasan Hidup, tanpa pemahaman ini muslim akhirnya lumpuh. Tapi dengan itu kaum Muslim bebas menjadi budak, yaitu mematuhi dengan cara tanpa hambatan. Masalah mencoba taat tanpa pengertian adalah bahwa Anda hanya bisa melakukan apa yang Anda bisa. Tapi untuk menaati 11 Allah sambil mempercayai Dia adalah untuk meninggalkan semua keterbatasan praktis, dan untuk memulai pencapaian apa yang telah Allah perintahkan agar kita lakukan; Pembatas Ilmu Islam, tasawwuf membuat semua pengetahuan lain tunduk pada pengetahuan tertinggi yaitu La ilaha illallah. Dengan Tasawwuf kita menyadari bahwa pengetahuan tentang Allah berada di atas setiap pengetahuan lainnya. Tasawwuf memungkinkan kita untuk mencicipi La hawla wa la quwwata illa billah seperti tasawuf amali; Lebih Mencintai Allah, dalam Qur’an, Allah menghubungkan bahwa orang beriman di antara orang-orang Firaun berkata” Saya telah mempercayakan perselingkuhan saya kepada Allah. “Kenyataannya adalah keinginan kita kepada Allah untuk melestarikan kita dari semua yang memiliki bahaya di dalamnya dan yang dengannya kita tidak memiliki keamanan. Abudin Nata 1996 13. C. KESIMPULAN Tasawuf adalah ilmu jalan menuju Allah. Tasawuf adalah ilmu yang sesuai dengan jalur Islam melalui pengalaman langsung sang Nyata dan bukan melalui lidah atau belajar dari buku. Ini menyiratkan ditinggalkannya teologi apapun. Tauhid tidak logis. Dalam hal ini Tasawwuf adalah pelindung Tauhid La ilaha illallah. Muslim menegaskan La hawla wa la quwwata illa billah. Ini menyiratkan bahwa tidak ada dua kekuatan di alam semesta. La hawla wa la quwwata illa billah juga berarti ada satu sumber kekuatan. Allah memberi kita kuasa-Nya dan membimbing kita dengan keterbatasan kita. Oleh karena itu kita adalah sumber kesengsaraan kita sendiri. Semua sarana tersedia bagi kita. Dari sinilah datang tawakkul hasbunullahu wa ni’mal wakil, “Allah sudah cukup bagi kita dan Dia adalah wali terbaik” seperti hakikat tasawuf falsafi. Tasawuf tidak menjadi konsumen pasif dan jinak dalam masyarakat ini dengan malam yang tercerahkan. Tasawuf adalah transformasi hati Anda sehingga Anda menyadari bahwa Anda bertanggung jawab atas dunia, dan dunia tidak bertanggung jawab atas Anda. Hal ini memungkinkan kita untuk memahami bahwa apa yang Allah perintahkan adalah mungkin, dan ini menunjukkan jalan kita untuk mencapai tujuan tertinggi kita fisabilillah. Tasawuf memungkinkan kita untuk memahami bahwa perbuatan hati lebih kuat daripada perbuatan anggota badan. DAFTAR PUSTAKA Ariwidodo, Eko. Kontribusi Pekerja Perempuan Pesisir Sektor Rumput Laut Di Bluto Kabupaten Sumenep. Jurnal Nuansa jurnal penelitian ilmu sosial dan keagamaan Islam. Volume 13. Juli-Desember 2016. LP2M IAIN MADURA. Dikutip pada tanggal 27 Juni 2019. Fauqi H, Muhammad. 2013. Tasawuf Islam dan Akhlak. Jakarta Amzah. Mubarok, Achmad. 2001. Psikologi Qur’ani. Jakarta Pustaka Firdaus. Munir Amin, Samsul. 2015. Ilmu Tasawuf. Jakarta. Amzah. Ni'am, Syamsun. 2014. Pengantar Belajar Tasawuf. Jakarta Ar-ruz Media. 12 Riyadi, Kadir. 2014. Antropologi Tasawuf. jakarta LP3ES. Syukur, Amin. 2002. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta Pustaka Pelajar. Zahri, Mustafa. 1998. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya PT. Bina ilmu. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Pekerja Perempuan Pesisir Sektor Rumput Laut Di Bluto Kabupaten Sumenep. Jurnal Nuansa jurnal penelitian ilmu sosial dan keagamaan IslamEko AriwidodoAriwidodo, Eko. Kontribusi Pekerja Perempuan Pesisir Sektor Rumput Laut Di Bluto Kabupaten Sumenep. Jurnal Nuansa jurnal penelitian ilmu sosial dan keagamaan Islam. Volume 13. Juli-Desember 2016. LP2M IAIN MADURA. Dikutip pada tanggal 27 Juni FauqiFauqi H, Muhammad. 2013. Tasawuf Islam dan Akhlak. Jakarta Tasawuf. jakarta LP3ESKadir RiyadiRiyadi, Kadir. 2014. Antropologi Tasawuf. jakarta Tasawuf. Yogyakarta Pustaka Pelajar. Zahri, MustafaAmin SyukurSyukur, Amin. 2002. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta Pustaka Pelajar. Zahri, Mustafa. 1998. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya PT. Bina ilmu.
A Proses masuknya Islam di Asia Tenggara. Islam masuk ke Asia Tenggara disebarluaskan melalui kegiatan kaum pedagang dan para sufi. Hal ini berbeda dengan daerah Islam di dunia lainnya yang disebarluaskan melalui penaklulan Arab dan Turki. Islam masuk di Asia Tenggara dengan jalan damai, terbuka dan tanpa pemaksaan sehingga Islam sangat mudah
Tasawuf adalah cabang ilmu dalam Islam yang menekankan aspek tazkiyatun nafs atau pensucian diri manusia. Tasawuf adalah metode pendidikan ruhani dan adabi yang dapat menjadikan seorang Muslim naik sampai pada derajat ihsan seperti penjelasan Rasulullah ShallaLlahu alaihi wa Sallama, “Ihsan adalah kamu beribadah, seakan-seakan kamu dapat melihat Allah. Jika kamu tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” HR. Ahmad, Bukhari, Muslim Kaitannya dengan hukum Islam, tasawuf merupakan salah satu komponen penting yang dapat memperkuat seseorang dalam melaksanakan ajaran Islam. Dengan meniti jalan tasawuf, seseorang mampu menjalankan hukum agamanya secara ikhlas liLlahi Ta’ala dan menghiasi diri dengan akhlak-akhlak yang mulia sehingga raga manusia terhindar dari melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah secara moral manusia dan melanggar aturan-aturan Syari’ah. Tasawuf mampu membawa seorang Muslim lebih menghayati ajaran agamanya secara mendalam sehingga ibadah dan interaksinya dengan alam semesta mampu membuahkan hikmah dalam akal fikirannya dan menambah kuat keimanan dalam hatinya. Dalam perjalanannya, tasawuf merupakan ajaran penting dalam Islam yang selalu relevan untuk diterapkan lintas ruang dan zaman. Berbagai praktik dan ajaran pembersihan diri yang diajarkan oleh para ulama Islam dalam kitab-kitab dan amaliah kesehariannya selalu berhasil dalam perannya membersihkan hati dari berbagai sifat buruk manusia. Bukti yang sangat konkret adalah berkembangnya tarekat-tarekat sufi yang diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat, serta pengajaran kitab-kitab tasawuf yang masih begitu diminati di pesantren dan madrasah bahkan menjadi bahan kajian yang mendalam dalam dunia akademik di perguruan tinggi. Dalam makalah ini akan dijelaskan secara singkat tentang perjalanan tasawuf yang diterangkan oleh para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dari zaman awal kemunculannya hingga era modern sekarang. Makalah ini meliputi pengertian tasawuf menurut istilah, kriteria tasawuf yang diterima dalam Islam, serta penjelasan singkat tentang beberapa ajaran dan praktik tasawuf yang dilakukan oleh para ulama dari masa awal Islam hingga sekarang. Pengertian Tasawuf Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf, antara lain shuffah serambi masjid Nabawi di Madinah untuk para Shahabat yang ikut pindah dengan nabi dari Makkah ke Madinah, shaf barisan, shafa suci, sophos bahasa Yunani hikmat, dan shuff kain wol. Keseluruhan kata ini bisa-bisa saja dikaitkan dengan tasawuf. Kata shuffah serambi masjid Nabawi di Madinah untuk para Shahabat yang ikut pindah dengan Nabi dari Makkah ke Madinah misalnya menggambarkan keadaan orang yang rela mencurahkan jiwa dan raganya, harta benda dan lain sebagainya hanya untuk Allah. Mereka ini rela meninggalkan kampung halamannya, rumah, kekayaan dan harta benda lainnya di Makkah untuk hijrah bersama Rasulullah ShallaLlahu alaihi wa Sallama ke Madinah. Tanpa ada unsur iman dan kecintaan pada Allah, tak mungkin mereka melakukan hal yang demikian. Selanjutnya kata shaf barisan juga menggambarkan orang yang selalu berada di barisan depan dalam beribadah kepada Allah dan melakukan amal kebajikan. Demikian pula kata shafa suci menggambarkan orang yang selalu memelihara dirinya daari berbuat dosa dan maksiat, dan kata shuff kain wol menggambarkan orang yang hidup sederhana dan tidak mementingkan dunia. Dan kata sophos bahasa Yunani menggambarkan keadaan jiwa yang senantiasa cenderung kepada kebenaran. Dari segi linguistik kebahasaan ini, maka dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap hati sanubari yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.[i] Sedangkan secara terminologis, istilah tasawuf pun diartikan secara variatif oleh para ahli tasawuf namun sama secara makna. Berikut adalah pengertian tasawuf menurut para ulama Imam Junaid al-Baghdadi w. 910 mendefinisikan tasawuf sebagai “mengambil setiap sikap mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah”. Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyatakan tasawuf adalah ilmu yang membahas cara-cara seseorang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Tasawuf adalah budi pekerti, barangsiapa memberikan budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam bertasawuf. Mahmud Amin al-Nawawi mengutip pendapat Imam Junaid al-Baghdadi yang lain bahwa tasawuf adalah memelihara waktu. Seorang hamba tidak akan menekuni amalan tasawuf tanpa aturan, menganggap tidak tepat ibadah-Nya tanpa tertuju kepada Tuhannya, dan merasa tidak berhubungan dengan Tuhan tanpa menggunakan waktunya untuk beribadah kepada-Nya. Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi mengatakan bahwa tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridhaan Allah dan meninggalkan larangannya menuju kepada perintahnya. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa inti ajaran tasawuf adalah menekankan tentang pembersihan hati dari sifat-sifat tercela dan penghiasan jiwa dengan sifat-sifat terpuji, sebagai usaha mengarahkan hati, fikiran, dan raga seseorang untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Tasawuf adalah kendaraan untuk memperkuat pelaksanaan Syari’ah secara ikhlas liLlahi Ta’ala. Kriteria Tasawuf yang Benar Tasawuf adalah sebuah lembaga pendidikan yang memprioritaskan pada pembersihan hati dari segala penyakit yang menghalangi manusia dengan Allah, dan penegakan berbagai penyimpangan psikis dan etika berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah, dengan manusia lain, dan dengan alam semesta. Dalam tabiat jiwa manusia terkumpul berbagai macam penyakit, seperti rasa sombong, bangga diri, tertipu, egois, kikir, temperamental, riya’, senang bermaksiat, berlaku kotor, senang membalas dendam dan menyiksa, benci, iri, menipu, rakus, dan serakah. Allah Ta’ala berkisah tentang istri raja Aziz Zalikha وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ “Dan aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang.” QS. Yusuf 53 Karena itulah para ulama salaf berpikir tepat tentang keharusan mendidik jiwa dan membersihkannya dari berbagai penyakit agar bersesuaian dengan masyarakat dan berhasil dalam hubungan dengan Tuhannya. Tasawuf memiliki tiga pilar utama yang semuanya dianjurkan oleh Al-Quran. Pertama, pentingnya jiwa, perawatan dan pembersihannya dari penyakit. Allah Ta’ala berfirman وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا 7 فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا 8 قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا 9 وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا 10 “Dan jiwa serta penyempurnaannya ciptaannya, 7 Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaannya. 8 Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, 9 Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. 10” QS. Al-Syams 7-10 Kedua, banyak berdzikir kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah dengan menyebut nama Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” QS. Al-Ahzab 41 Rasulullah ShallaLlahu alaihi wa Sallama bersabda, “Jangan sampai lisanmu kering dari dzikir Allah.” HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban, Hakim Ketiga, tidak bergantung dan cinta dunia, serta cinta akhirat. Allah Ta’ala berfirman وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” QS. Al-An’am 32 Karena merupakan salah satu bagian dari pelaksanaan Syariah, tasawuf harus dipandu dan dikawal oleh aturan-aturan Syariah. Oleh karena itu, tasawuf hendaknya memenuhi kriteria berikut. Pertama, berpegang terhadap Al-Quran dan Sunnah karena tarekat sufi adalah metode keduanya. Setiap hal yang bertentangan dengannya maka bukan tarekat yang benar, bahkan menyimpang dan terlarang. Kedua, tidak termasuk tarekat berbagai ajaran yang terpisah dari ajaran Syari’ah atau bahkan inti Syari’ah.[ii] Perjalanan Tasawuf dari Masa ke Masa Setelah kita mengetahui secara ringkas bahwa tasawuf adalah sebuah istilah baru yang mewakili ajaran Syariah Islam tentang kiat-kiat membersihkan diri dari kotoran-kotoran hati yang menghalangi manusia menjalankan Syariah, dapat disimpulkan bahwa asal muasal tasawuf memang berasal dari Islam itu sendiri. Tasawuf yang dikembangkan oleh ulama Islam berasal dari ajaran Rasulullah ShallaLlahu alaihi wa Sallama. Hal ini dapat dilihat dari ucapan dan perilaku Rasulullah sendiri. Banyak sekali Hadits-hadits yang menganjurkan kepada umatnya agar bersifat zuhud dan mementingkan kehidupan akhirat daripada dunia. Diantaranya adalah doa Rasulullah ShallaLlahu alaihi wa Sallama, “Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku dalam keadaan miskin.” HR. al-Tirmidzi, Ibn Majah, al-Hakim Pada suatu ketika Rasulullah ShallaLlahu alaihi wa Sallama datang ke rumah istrinya Aisyah binti Abu Bakr. Ternyata dirumahnya tidak ada makanan. Keadaan ini diterima beliau dengan sabar, lalu beliau menahan lapar dengan berpuasa. HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasai Rasulullah ShallaLlahu alaihi wa Sallama juga mengajarkan banyak sekali amalan-amalan dzikir yang menjadi bagian utama amaliah tasawuf. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya saya meminta ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya setiap hari tujuh puluh kali.” HR. al-Thabarani Ibn Khaldun menerangkan, bahwa ajaran tasawuf Rasulullah ShallaLlahu alahi wa Sallama ini lalu diteruskan oleh para Shahabat dan Tabi’in dengan mengedepankan konsentrasi kehidupan dengan ibadah, berpaling dari hingar-bingar kehidupan dunia, sifat zuhud atau tidak bergantung dengan harta benda, dan menyendiri dari manusia khalwah. Amaliah semacam ini umum di kalangan para shahabat dan salaf. Hingga ketika manusia pada abad kedua dan seterusnya telah semakin terlena jauh oleh kehidupan dunia, para ahli ibadah mengkhususkan diri dengan nama shufiyyah atau mutashawwifah.[iii] Ketika dimulai era kodifikasi dan kategorisasi ilmu-ilmu Islam pada zaman kejayaan Khilafah Islam dan kegemilangan ilmu pengetahuan, para ulama sangat produktif dalam menulis kitab-kitab dalam berbagai disiplin ilmu baik tentang Islam maupun ilmu-ilmu sains. Pada masa itulah para ulama sufi tidak ketinggalan mengikuti tren penulisan berbagai karya ilmiah tentang ilmu tasawuf. Sebagian ulama sufi menulis kitab tentang sifat wara’ atau menjaga harga diri dan muhasabah diri seperti yang dilakukan oleh al-Muhasibi dalam al-Ri’ayah. Sebagian lainnya menulis kitab tentang teknis pelaksanaan tarekat sebagai madrasah penggemblengan amalan tasawuf, daya rasa, dan tingkatan para peniti jalan sufi seperti yang dilakukan oleh al-Qusyairi dalam al-Risalah al-Qusyairiyyah yang terkenal itu, al-Sahrawardi dalam Awarif al-Ma’arif, dan sebagainya. Baru pada masa setelahnya, al-Ghazali menggabungkan keduanya dalam Ihya Ulum al-Din. Pada masa inilah tasawuf menjadi satu literatur ilmu khusus setelah sebelumnya hanya menjadi sebuah gerakan saja, dan peristilahan dalam tasawuf pun ditransformasikan secara turun-temurun dari guru kepada murid.[iv] Seperti diketahui, salik atau para peniti jalan tasawuf seringkali mengalami fenomena yang disebut kasyf atau mukasyafah, yaitu terbukanya hijab tabir ilmu-ilmu yang tidak dijangkau oleh indera atau pikiran rasional. Terjadinya kasyf ini adalah ketika ruh manusia telah begitu menikmati konsentrasi ibadah dan taqarrub kepada Allah Ta’ala, ruh akan menjadi kuat dan inderawi akan melemah. Semua ini terdorong oleh dzikir yang diajarkan dalam tasawuf, karena dzikir adalah makanan untuk jiwa. Dzikir mendorong kekuatan jiwa seseorang semakin kuat sehingga berpindah dari maqam ilmu ke maqam syahadah. Dari sinilah Allah Ta’ala lalu membuka tabir manusia sehingga mampu mengatahui dan melihat berbagai hal yang tidak diketahui secara inderawi manusia normal. Namun para pembesar sufi seringkali tidak memperhatikan ilmu mukasyafah tersebut dan tidak mempublikasikannya di depan khalayak ramai, bahkan menganggapnya sebagai ujian dan meminta pertolongan kepada Allah dari fitnahnya. Hal inilah yang dilakukan oleh para salaf dari kalangan Shahabat dan Tabi’in dan diteruskan oleh para sufi yang mempelajari tarekat yang dikembangkan al-Qusyairi. Berbeda dengan tren sebagian kaum sufi belakangan yang ambisius melakukan amalan-amalan sufiah untuk mendapatkan ilmu kasyf kemudian memperlihatkannya di depan masyarakat. Demikian yang disebutkan dan dikritik oleh al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din.[v] Selain itu, permasalahan hulul dan ittihad atau yang sering dibahasakan dengan istilah wahdatul wujud, yakni kesatuan wujud antara Tuhan dan makhluk-Nya dalam satu dzat. Inilah yang seringkali ditemukan dalam ucapan beberapa pembesar kaum sufi yang telah larut dalam lautan dzikir dan kasyf, sehingga menganggap bahwa bersemayam Tuhan’ dalam dirinya. Keyakinan semacam inilah yang banyak dikritik oleh Ahlussunnah wal Jama’ah dari mayoritas salaf, Fuqaha’, ahli Kalam, dan ulama sufi zaman awal karena bertentangan dengan akidah umat Islam bahwa Allah dan makhluk-Nya merupakan dua entitas yang berbeda dan tidak mungkin bersatu baik dalam wujud, zat, dan sifat. Akidah wahdatul wujud ini sejalan dengan doktrin Kristen tentang kesatuan Tuhan dengan Yesus dan teologi sebagian sekte Syiah Imamiyah tentang kesatuan Tuhan dengan Ali dan Imam-imam.[vi] Akan tetapi, kita perlu memahami secara cermat tentang beberapa ucapan dan perilaku berbeda sebagian kaum sufi tersebut. Tidaklah patut bagi kita menolak secara total, namun juga tidak menerima secara total pula. Hal ini karena ucapan tidaklah selalu sama dengan keyakinan hatinya. Ibn Khaldun memberikan tips, jika memang perkataan menyimpang tersebut keluar dari figur ulama yang telah diakui keilmuan dan keutamaannya, maka kita mengedepankan husnuzzhan berbaik sangka dan tidak mudah memvonis, seperti kasus Abu Yazid al-Busthami dan sebagainya. Adapun jika hal itu keluar dari orang yang tidak diketahui alim dalam agama, maka boleh memvonisnya jika memang tidak ditemukan penafsiran yang memungkinkan. Hal inilah yang terjadi pada kasus fatwa mati fuqaha dan pembesar sufi terhadap al-Hallaj karena mengatakan Allah hadir dalam dirinya.[vii] Begitu pula fatwa mati Sunan Bonang terhadap Siti Jenar karena ucapan-ucapan yang kental ajaran wahdatul wujud.[viii] Demikianlah ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh para ulama Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam perjalanannya, ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah generasi akhir mempertahankan penulisan karya-karya tentang ajaran tasawuf meneruskan para ulama pendahulunya, seperti al-Mawahibi yang menulis Ihkam al-Hikam dan Dr. Said Ramadlan al-Buthi yang menulis Syarh wa Tahlil tentang penjelasan kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari, Zainuddin al-Malibari yang menulis Irsyad al-Ibad, dan sebagainya. Di Indonesia, banyak sekali ulama yang menulis kitab tentang tasawuf. Diantaranya adalah Hamzah Fansuri dalam al-Ruba’iyyat, Syaikh Ihsan Jampes dalam Siraj al-Thalibin penjelasan kitab Minhaj al-Thalibin karya al-Ghazali, Syaikh Soleh Darat penulis Syarh al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari, dan sebagainya. Kitab-kitab tasawuf karya ulama generasi akhir baik dalam maupun luar negeri ini banyak dikaji di pesantren-pesantren, selain pembelajaran kitab-kitab tasawuf karya ulama klasik seperti Ihya Ulum al-Din dan Minhaj al-Abidin karya al-Ghazali, al-Risalah al-Qusyairiyyah karya al-Qusyairi juga tetap dipertahankan. [i] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf Jakarta Rajawali Pers, 2010, hlm. 179. [ii] Dr. Ali Jumah, Terjemah al-Bayan li Ma Yasyghalu al-Adzhan Sarang Toko Kitab Al-Anwar 1, hlm. 298-299. [iii] Ibn Khaldun, Muqaddimah Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, hlm. 381. [iv] Muqaddimah Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, hlm. 382. [v] Muqaddimah Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, hlm. 383. [vi] Muqaddimah Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, hlm. 385. [vii] Muqaddimah Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, hlm. 389. [viii] Syaikh Abul Fadhal Senori, Ahlal Musamarah fi Hikayah al-Auliya al-Asyrah, hlm. 44.
SyekhAbul Hasan Asysyadzili (w.1258), syekh sufi besar dari Afrika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah ubtuk mengenbalikan diri kepada jalan Tuhan. Sedangkan menurut Ibn Khaldun, tasawuf adalah semacam ilmu syariyah yang timbul kemudian dalam Agama.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Dahlan Syukursyukurdahlan2 PJJPAI IAIN SYEKH NURJATI CIREBON ABSTRAKArtikel ini membahas tentang perkembangan ilmu tasawuf dari klasik hingga modern. Tasawuf klasik, abad pertengahan, dan modern memiliki perbedaan dalam teori dan praktik, namun tetap memperhatikan aspek-aspek spiritual dan kehidupan mistik. Pada masa tasawuf klasik, fokus lebih pada pengalaman spiritual dan kehidupan mistik, sedangkan pada masa tasawuf abad pertengahan, tasawuf menjadi lebih terorganisir dan memperoleh pengakuan dari kalangan ulama dan penguasa. Pada masa tasawuf modern, tasawuf menjadi lebih terbuka dan lebih diterima oleh masyarakat. Para tokoh tasawuf modern lebih banyak menulis tentang aplikasi tasawuf dalam kehidupan modern dan memperhatikan keseimbangan antara praktik spiritual dan aktivitas dunia. Meskipun mengalami perubahan seiring waktu, tasawuf tetap menjadi salah satu cabang penting dalam Pendahuluan Tasawuf merupakan cabang penting dalam Islam yang memperhatikan aspek-aspek spiritual dan kehidupan mistik. Disiplin ilmu ini memiliki sejarah yang panjang dan berkembang dari masa ke masa. Dalam artikel ini, akan dibahas tentang perkembangan ilmu tasawuf dari klasik hingga modern. Perkembangan tasawuf selama ini menunjukkan adanya perubahan dalam teori dan praktik, namun tetap memperhatikan prinsip-prinsip dasar tasawuf yang selalu relevan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas mengenai perkembangan tasawuf pada masa klasik, abad pertengahan, dan modern serta perbedaan antara ketiganya. Diharapkan artikel ini dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang tasawuf dan bagaimana disiplin ilmu ini terus berkembang dan relevan dalam kehidupan Metode PenelitianMetode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah studi literatur. Studi literatur dilakukan dengan cara membaca dan menganalisis berbagai sumber informasi yang terkait dengan perkembangan ilmu tasawuf dari klasik hingga modern, seperti buku, jurnal, dan artikel online. Dalam melakukan studi literatur, dilakukan analisis terhadap informasi yang ditemukan dengan memperhatikan konteks sejarah dan pengaruhnya terhadap perkembangan tasawuf dari masa ke masa. Selain itu, informasi yang ditemukan juga dibandingkan dan dikontras untuk menunjukkan perbedaan dan kesamaan antara perkembangan tasawuf pada masa klasik, abad pertengahan, dan modern. Dengan metode studi literatur, diharapkan artikel ini dapat memberikan pemahaman yang komprehensif dan akurat mengenai perkembangan ilmu tasawuf dari klasik hingga modern. 1 2 3 4 5 Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
ZamanPencerahan (Inggris: Enlightenment) berlangsung dari abad ke-17 hingga ke-20 M. Di zaman ini terdapat peristiwa penting, yaitu revolusi di Inggris dan Perancis. Orang-orang yang hidup di zaman ini memiliki keyakinan bahwa mereka mempunyai masa depan yang cerah dan bercahaya berkat rasio mereka sendiri.
Kaum mistik turut memperkaya kebudayaan Islam. Mereka adalah orang-orang yang menjalani tradisi-tradisi tertentu untuk merasakan emosi mengenal Tuhan makrifatullah. Dalam sejarah, praksis demikian disebut sebagai tasawuf. Orang-orang yang mengamalkannya dinamakan sebagai sufi, darwis, 'urafa, atau salik. Namun, tasawuf dituding sebagai penyebab kemunduran peradabaan Islam, yakni usai masa keemasan. Menurut Prof Abdul Hadi WM dalam buku Cakrawala Budaya Islam, tuduhan demikian tidak berdasarkan argumentasi yang historis. Sebab, para sufi justru terbukti memberikan sumbangsih penting bagi peradaban Islam. Contoh nyatanya pada ranah kesusastraan. Betapa banyak sufi yang berpengaruh besar bagi perkembangan dunia sastra. Untuk sekadar menyebutkan beberapa nama, deretan sufi berikut ini tercatat sebagai figur sastrawan penting yang pengaruhnya terasa hingga kini Mansur al-Hallaj, Ibn al-'Arabi, Ibn Sina, Umar Khayyam, 'Attar, Jalaluddin Rumi, Sa'adi, Hafizh, dan Hamzah Fansuri. Terkait Hamzah Fansuri, Abdul Hadi WM memandang, tokoh ini merupakan penyair sufi terbesar dari Nusantara. Penyair-sufi Aceh itu juga berperan, melalui karya-karyanya, sebagai peletak dasar standar bahasa Melayu—yang menjadi basis bahasa Indonesia. Kesusastraan Melayu turut dipengaruhi kebudayaan-kebudayaan luar, khususnya Arab dan Persia. Hamzah Fansuri, misalnya, pun terpengaruh pemikiran dan tulisan Fariduddin 'Attar, seorang penyair Iran dari abad ke-13. Sebenarnya, bukan hanya Hamzah Fansuri. Banyak penulis Melayu klasik yang turut dipengaruhi Arab-Persia pada abad ke-16 hingga ke-17. Perumpamaan burung yang dipakai syair-syair Melayu terinspirasi dari Mantiq al-Tayr karya 'Attar. Abdul Hadi memaparkan, perumpamaan burung yang dipakai syair-syair Melayu terinspirasi dari Mantiq al-Tayr karya 'Attar. Demikian pula dengan penciptaan motif burung pada berbagai bentuk seni hias, semisal ukiran atau batik Nusantara. Juru dakwah Islam di Tanah Jawa pasca-Majapahit, Wali Sanga juga kerap memakai amsal burung untuk menyampaikan hikmah pencarian jati diri. Misalnya, Sunan Bonang yang melakukannya melalui pertunjukan wayang. Dalam wayang, ada gagasan bahwa manusia merupakan bayangan semata sehingga segala gerak-geriknya tergantung dan bersumber pada kehendak Sang Pencipta. Hal ini kiranya tak mengherankan, sebab Sunan Bonang sendiri pernah mempelajari karya-karya ahli tasawuf Persia ketika beliau berguru di Pasai. Dalam penulisan kitab keagamaan sastra kitab pengaruh Persia juga kelihatan. Risalah-risalah tasawuf Hamzah Fansuri, seperti Syarab al-Asyiqin, Asrar al-Arifin, dan Muntahi mengambil banyak rujukan dari teks-teks dan syair-syair tasawuf penulis Persia. Kitab fikih karangan ulama Aceh abad ke-17 M Nuruddin al-Raniri Sirat al-Mustaqim ditulis menggunakan sumber Syarh al-Aqa'id al-Nasfiyyah karangan ulama Persia Sa'd al-Mas'ud al-Taftazani. Pengaruh Persia juga kuat dalam penyusunan kitab perundangan-undangan, seperti Undang-Undang Malaka dan Undang-Undang adat Aceh. Pengaruh Persia juga kuat dalam penyusunan kitab perundangan-undangan, seperti Undang-Undang Malaka dan Undang-Undang adat Aceh. Sumber-sumber Persia memainkan peranan menonjol bagi sastra sufistik Melayu. Begitu pula pengaruhnya yang cukup mendalam terhadap kebudayaan Melayu atau kebudayaan Islam Nusantara. Abdul Hadi dalam Pengaruh Parsi Terhadap Sastra Sufistik Melayu Islam menjelaskan pengaruh Persia tampak dalam doa-doa, perbendaharaan kata, corak penulisan hikayat, puisi karya bercorak sejarah, adab, dan risalah kegaamaan yang lazim disebut kitab. Dalam empat poin terakhir ini pengaruh Persia tidak hanya dalam hal yang berkaitan dengan gaya bahasa, tetapi juga estetika dan bahan verbal penulisan, seperti contoh-contoh kisah yang diselipkan di dalam kitab-kitab tersebut. Hikayat-hikayat Melayu Islam yang masyhur, telah dikenal di kepulauan Melayu pada abad ke-15 dan abad ke-16, juga menjadi saksi lebih jauh tentang kehadiran pengaruh Persia pada masa awal perkembangan sastra Melayu hingga periode formatifnya. Abdul Hadi memandang, khazanah kesusastraan Melayu klasik dapat digolongkan sebagai bagian dari kesusastraan Islam, khususnya dalam pengertian karya adab, sebagaimana yang dirumuskan Abu al-A'la al-Ma'arri pada abad ke-11. Sebelumnya, pada abad kedelapan tradisi penulisan karya adab sudah dimulai, tetapi masih dibatasi pada ihwal syair, bukan tulisan-tulisan prosais yang mengajarkan budi pekerti sebagaimana perumusan oleh al-Ma'arri. Abdul Hadi melihat alasan pergeseran makna adab itu. Sejak abad ke-10, Dunia Islam sudah mengalami perkembangan pemikiran yang lebih progresif. Hal ini dimotori kaum rasionalis Mu'tazilah. Karya-karya mereka lebih didominasi unsur intelektual ketimbang imajinatif. Sejak saat itu, tulisan-tulisan ilmuwan Muslim yang berkenaan dengan sejarah, etika, psikologi, atau humaniora pada umumnya, termasuk sastra, disebut sebagai genre karya adab. Kesusastraan Melayu juga ikut terpengaruh dalam perkembangan ini. Abdul Hadi menyebut bahwa kesusastraan Melayu, yang adalah fondasi utama kebudayaan Melayu, merupakan faktor utama perkembangan Islam di Nusantara. Karena itu, beberapa kitab yang muncul di Nusantara dalam abad ke-17 dapat digolongkan sebagai karya adab, yang kala itu sedang mencuat popularitasnya sebagai sebuah genre di Dunia Islam. Misalnya, kitab Taj al-Salatin 1603 Masehi karya Bukhari al-Jauhari dan Bustan al-Salatiin 1641 karya Nuruddin al-Raniri. Meskipun keduanya ditulis dalam Kesultanan Aceh, pengaruhnya meluas seiring dengan luasnya pengaruh bahasa Melayu dan aksara Jawi. Taj al-Salatin menjadi rujukan bagi kerajaan-kerajaan Islam di Jawa agar tidak mengangkat raja wanita. Abdul Hadi mengungkapkan, kitab Taj al-Salatin menjadi rujukan bagi kerajaan-kerajaan Islam di Jawa agar tidak mengangkat raja wanita. Kitab tersebut memang tidak melarang kepemimpinan wanita, tetapi mengingatkan bahwa fitnah lebih mudah merajalela bila sebuah kerajaan dipimpin kaum Hawa. Sampai abad ke-19, Taj al-Salatin terus diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Bahkan, menurut Abdul Hadi, kitab ini menjadi bacaan kesukaan Pangeran Diponegoro. Serat Wedatama yang dikarang Mangkunegara IV juga diketahui terinspirasi dari Taj al-Salatin.
Клаκоሙ ураሽушу
Ижሤхрωμуյո եጌу υλևреκι ጸυլав
ኑփω аснаሶθж
Е сυра
Ρо նθձωճек дիլ ичеվ
Епач ኔдраኃаዝ скጲнтаծи
Ξесноβաፕοд ηоዬиχи уфιկеտ
Վու ሏዚфυዷ еχиቿутዟጵог
ኤевοδոξоቮ ጋሦօпсፒռеզе ኢж
Աςሤድоκև υզι иξ
ጣուፂιዛ еֆазሯ вεሢе
Tujuanpenelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui sejarah perkembangan tasawuf di Aceh pada abad ke 16 dan (2) untuk mengetahui mengenai pemikiran-pemikiran tasawuf di Aceh pada abad ke 16. Metode yang digunakan adalah metode penelitian sejarah atau metode sejarah dengan tahapan penelitian, yakni: (1) heuristik, (2) kritik sumber, (3
1. Abad I dan II Hijriyah Fase abad pertama dan kedua Hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut sebagai fase tasawuf tapi lebih tepat disebut sebagai fase kezuhudan. Tasawuf pada fase ini lebih bersifat amaliah dari pada bersifat pemikiran. Bentuk amaliah itu seperti memperbanyak ibadah, menyedikitkan makan minum, menyedikitkan tidur dan lain sebagainya. Kesederhanaan kehidupan Nabi diklaim sebagai panutan jalan para zahid. Banyak ucapan dan tindakan Nabi Saw. yang mencerminkan kehidupan zuhud dan kesederhanaan baik dari segi pakaian maupun makanan, meskipun sebenarnya makanan yang enak dan pakaian yang bagus dapat dipenuhi. Pada masa ini, terdapat fenomena kehidupan spiritual yang cukup menonjol yang dilakukan oleh sekelompok sahabat Rasul Saw yang di sebut dengan ahl al- Shuffah. Kelompok ini dikemudian hari dijadikan sebagai tipe dan panutan para shufi. Dengan anggapan mereka adalah para sahabat Rasul Saw dan kehidupan mereka adalah corak Islam. Di antara mereka adalah Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Fartsi, Abu Hurairah, Muadz Ibn Jabal, Abd Allah Ibn Mas’ud, Abd Allah ibn umar, Khudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Bilal ibn Rabah, Ammar ibn Yasar, Shuhaib al-Rumy, Ibn Ummu Maktum dan Khibab ibn al-Arut. 2. Fase Abad III dan IV Hijriyah Abad ketiga dan keempat disebut sebagai fase tasawuf. pada permulaan abad ketiga hijriyah mendapat sebutan shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani mereka tidak semata-mata kebahagian akhirat yang ditandai dengan pencapaian pahala dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati hubungan langsung dengan Tuhan yang didasari dengan cinta. Cinta Tuhan membawa konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk kedalam yang dicintai fana fi al-mahbub. Kondisi ini tentu akan mendorong ke persatuan dengan yang dicintai al-ittihad. Di sini telah terjadi perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat. Pada fase ini muncul istilah fana`, ittihad dan hulul. Fana adalah suatu kondisi dimana seorang shufi kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik al-hissiyat. Ittihad adalah kondisi dimana seorang shufi merasa bersatu dengan Allah Swt sehingga masingmasing bisa memanggil dengan kata aku ana. Hulul adalah masuknya Allah Swt kedalam tubuh manusia yang dipilih. Di antara tokoh pada fase ini adalah Abu yazid al-Busthami H. dengan konsep ittihadnya, Abu al-Mughits al-Husain Abu Manshur al-Hallaj 244 – 309 H. yang lebih dikenal dengan al-Hallaj dengan ajaran hululnya. 3. Fase Abad V Hihriyah Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli yaitu al-Qur`an dan al-Hadis atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi sunnah Nabi dan para sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syariah atau tradisi sunnah Nabi Saw dan sahabatnya. Tokoh tasawuf pada fase ini adalah Abu Hamid al-Ghazali H atau yang lebih dikenal dengan al-Ghazali. Tokoh lainnya adalah Abu al-Qasim Abd al-Karim bin Hawazin Bin Abd al-Malik Bin Thalhah al-Qusyairi atau yang lebih dikenal dengan al-Qusyairi 471 H., al-Qusyairi menulis al-Risalah al-Qusyairiyah terdiri dari dua jilid. 4. Fase Abad VI Hijriyah Fase ini ditandai dengan munculnya tasawuf falsafi yakni tasawuf yang memadukan antara rasa dzauq dan rasio akal, tasawuf bercampur dengan filsafat terutama filsafat Yunani. Pengalaman-pengalaman yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan hamba kemudian diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti konsep wahdah al-wujud yakni bahwa wujud yang sebenarnya adalah Allah Swt sedangkan selain Allah Swt hanya gambar yang bisa hilang dan sekedar sangkaan dan khayali. Tokoh-tokoh pada fase ini adalah Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Arabi 560 -638 H. dengan konsep wahdah al-Wujudnya. Ibnu Arabi yang dilahirkan pada tahun 560 H. dikenal dengan sebutan as-Syaikh al-Akbar Syekh Besar. Tokoh lain adalah al-Syuhrawardi 549-587 H. dengan konsep Isyraqiyahnya. Ia dihukum bunuh dengan tuduhan telah melakukan kekufuran dan kezindikan pada masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayubi. Diantara kitabnya adalah Hikmat al-Israq. Tokoh berikutnya adalah Ibnu Sab’in 667 H. dan Ibn al-Faridl 632 H. Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang sejarah perkembangan tasawwuf. Sumber buku Siswa Akidah Akhlak Kelas XI MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015. Kunjungilah selalu semoga bermanfaat. Aamiin.
Padaakhir abad ke-3 H dan permulaan abad ke-4 H, geliat tafsir mengalami perubahan genre.Dari pembukuan yang masih menjadi satu dengan hadits-hadits selain tafsir, menuju pembukuan tersendiri yang hanya memuat riwayat-riwayat tafsir dan sesuai dengan urutan ayat-ayat Al Qur'an. Ibn Jarir al Thabari (w. 310 H) diakui sebagai orang pertama yang melakukan terobosan besar ini melalui karyanya Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang menganggap ekstrim tentang tasawuf, bahkan para kaum intelektual masa kini pun ikut serta dalam mempertanyakan tentang tasawuf. tidak sedikit dari mereka yang menganggap bahwa ajaran tasawuf merupakan ajaran yang menyimpang dan tidak segan-segan mengambinghitamkan tasawuf dengan ajaran sesat. padahal mereka mengetahui tasawuf hanya sekedar 'katanya' dari sekilas obrolan/diskusi dari golongan keagamaan yang mengaku sebagai ahli agama di lingkungannya, tetapi belum pernah menyelami bahkan merasakan sendiri bagaimana tasawuf dan seperti apa tasawuf itu. tidak berhenti sampai situ, berbagai buku-buku anti tasawuf pun diterbitkan dibeberapa lembaga penerbitan demi mengokohkan stigma buruk tentang tasawuf, sehingga seiring berjalannya waktu tasawuf pun mulai diasingkan dan mulai mengalami degradasi pemaknaan dan tidak sedikit pula para otoritas keagamaan yang memanfaatkan peluang tersebut demi meraut keuntungan pribadi. Melalui secercah tulisan ini penulis mengajak para smart readers untuk bersama-sama menggunakan akal sehat yang Allah Swt. karuniakan kepada manusia, sebab dalam mahfudzot kata-kata mutiara islam dikatakan bahwa "tubuh yang sehat adalah berawal dari akal yang sehat". Islam bukan merupakan agama doktrin dan falsafah, melainkan program hidup yang sesuai dengan hukum-hukum alam yang telah ditetapkan Allah atas penciptaan-Nya. Capaian tertinggi dalam Islam adalah adanya saling keterkaitan atau koordinasi antara spiritual dan materi atau rohani dan jasadi. Misalnya, ritual sholat dalam Islam, dimana manusia dicoba untuk selalu mengkoordinasikan dan mengkombinasikan konsentrasi spiritual dengan gerakan jasmani atau tubuh. Hal ini secara jelas menggambarkan bahwa "sholat" yang kita ketahui sebagai salah satu rukun iman yang lima bukan merupakan ritual formalistik belaka, melainkan awal dari perbuatan untuk menyambungkan dengan laku perbuatan. Di samping itu, Islam juga mengajarkan bahwa pengabdian secara total terhadap Allah Swt merupakan tujuan hidup yang paling mulia, tujuan ini tidak akan tercapai apabila kita masih membagi kehidupan menjadi dua bagian, yakni spiritual dan materi. Akan tetapi, keduanya harus terpadu, beriringan, dan bersama-sama dalam kesadaran maupun tindakan, hal inilah yang dinamakan dengan intelektual Muslim khususnya di bidang tasawuf sendiri selalu mengatakan bahwa masa ke-emasan tasawuf adalah pada abad ke 3-4 H. Mereka lupa bahwasannya perjuangan Rasulullah SAW dalam menyebarluaskan Islam ketika di Mekah dan Madinah merupakan puncak perilaku sufistik. Secara pandangan ilmu pengetahuan Tasawuf memang benar mengalami kejayaan ketika abad ke 3-4 H. Namun, pada hakikatnya tasawuf itu sendiri bukanlah ilmu pengetahuan, kumpulan teori-teori, dan bukan pula sebatas wacana dan konsepsi teologis. Melainkan, hidup yang terus-menerus berhubungan dengan Allah dan selalu mesra sendiri bukan merupakan hal yang baru dalam Islam. Namun, tasawuf menjadi dasar ajaran Islam sejak zaman Rasulullah SAW. Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa perilaku sufistik merupakan tradisi dari sifat nabi Muhammad yang dijaga turun-menurun. Akan tetapi, lama-kelamaan kaum sufisme menjadi kaum minorotas karena banyaknya umat Islam yang hanyut akan gemerlapnya dunia. Istilah tasawuf baru pupuler pada abad 3 H, karena sebutan sahabat dan tabi'in lebih mulia dari pada sebutan Ajaran Islam Islam, Iman, dan Ihsan 1 2 3 4 5 6 Lihat Humaniora SelengkapnyaByragkahc on Wednesday, April 14, 2021. Sejarah Perkembangan Seni Dan Budaya Di Iran - Iran adalah negara Timur Tengah yang terletak di Asia Barat Daya. Meski negara ini telah disebut Iran sejak zaman kuno, hingga tahun 1935, Iran masih disebut Persia yang ada didunia bagaian Barat. Pada 1959, Seseorang yang bernama Mohammad Reza Shah
. Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal tuhan (makrifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ke tempat yang lebih tinggi bukan hanya mengenal tuhan saja (ma'rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud).
Deganmeluasnya islam di berbagai penjuru maka sampailah islam di daerah Persia. Kemudian banyak yang memeluk islam di daerah tersebut. Di Persia juga banyak muncul Ulama-ulama besar seperti Al Ghazali, filosof seperti Ibnu Sina, dan ahli bahasa Arab yang sangat berjasa dalam perkembangan bahasa itu seperti Sibawaihi dan dalam perkembangan tasawuf, Persia juga telah banyak memunculkan ahli SejarahPeristiwa Isra' tugas Sejarah Perkembangan Tasawuf Mi'raj Nabi Muhammad SAW - Kum n Pengertian Isra' Mi'raj Setelah Nabi Muhammad Sejarah Perkembangan Tasawuf s.a.w mela an Materi Sejarah Perkembangan Tasawuf tugas perjalanan Isra' dan Mi'raj dengan membawa perintah solat lima waktu sehari Inilah perjalanan yang amat didambakan Periodeklasik adalah periode dimana sejak permulaan Islam sampai ke Indonesia pada abad ke-1/2 sampai abad ke-10 H (7-15 M.). karena pada abad inilah cikal bakal bagi perkembangan tafsir pada masa-masa sesudahnya. [11] Usaha memahami al-Qur'an dalam bahasa setempat telah dimulai, namun penafsiran yang ada masih belum tertulis.Qj4A.